“Sederhana”, sebuah kata yang
singkat dan mengundang berbagai macam pendapat ketika kata itu dilemparkan ke
beberapa orang. Ketika kita sering makan di warung Padang, mungkin sekilas akan
ingat nama “Rumah Makan Sederhana/Restoran Sederhana”. Hal ini aku buktikan
ketika masih bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta. Rumah
Makan Sederhana selalu menjadi favorit kami untuk bersantap makan siang.
“Kita
makan siang dimana?”
Tanyaku ke teman-teman kerjaku.
“Sederhana
aja”. Jawab
salah seorang temanku.
Mungkin pada situasi itu,
persepsi kita ketika mendengar kata Sederhana akan tertuju pada Rumah Makan
Padang yang bernama “Sederhana”. Mungkin beberapa orang yang lain akan berbeda
pandangan mendeskripsikan tentang kata “sederhana”. Bagiku sederhana adalah Pas
dan tidak berlebihan sehingga ada kenyamanan dan keserasian yang dirasakan.
Seminggu ini, di Camp Pelatihan
Purwakarta, aku dan sesama rekan Calon Pengajar Muda belajar tentang kesederhanaan.
Mencoba mengerti, memahami dan mengaplikasikan akan arti kesederhaan.
Kesederhaan dalam keseharian terutama dalam hal makanan. Yah, ini adalah menu “special” yang pernah dijanjikan panitia
kepada kami sebelum kami di Camp. Katanya akan ada menu-menu “special” alias menu sederhana yang
disesuaikan dengan kondisi di daerah penempatan nantinya agar kita terbiasa
dengan makan “seadanya”.
Minggu Pertama di Camp ini penuh
dengan makanan dengan variasi menu yang sangat mengundang nafsu dan selera
untuk melahapnya. Bagaimana tidak? Kami disuguhi dengan makanan yang lengkap
dari sisi nutrisi dengan frekuensi yang sering (menurutku). Mungkin hal yang
menarik adalah ketika sebelum kami di Camp ini kami belajar akan Survival
(bertahan hidup) dengan keterbatasan alat dan bahan di sebuah hutan selama
lebih kurang lima hari. Alhasil apa yang kami rasakan, kami rindu akan makanan
yang enak dan lengkap. Maklumlah, di hutan kami makan “seadanya”.
Pucuk dicinta ulampun tiba,
setelah selesai acara Survival bersama Wanadri dan menuju ke Camp di Purwakarta
ini, kami disuguhi menu makanan yang sangat bervariasi dan membuat enzim
pencernaan aktif setiap kali melihatnya. Kami begitu lahap menyantapnya seperti
balas dendam karena seminggu sebelumnya “kekurangan” asupan makanan.
Bahkan diantara kami ada yang
bilang “Wah kalo begini caranya, bakal
gemuk nih”, kata salah satu temanku.
Tak kalah juga salah satu teman
yang memiliki motivasi untuk menurunkan berat badan dengan bergabung dalam
pelatihan ini, juga berkata “Wah gagal
diet nih kalo makan terus, bahaya malah nambah melar nih badan”.
Itulah gambaran kami di
minggu-minggu pertama di Purwakarta. Sarapan, Coffe Break jam 10, Makan Siang, Coffe Break Jam 3 sore dan Makan Malam dengan variasi menu yang “menggoda”. Akupun
merasakan hal yang sama, bahwa minggu awal di Camp ini aku begitu bersyukur
dengan segala makanan yang lengkap (baca empat sehat : kurang susu). Aku merasa
beruntung karena tanpa susah payah memasak ataupun pergi untuk membeli makanan
tersebut karena tinggal ambil dan makan. Alhamdulillah, Sujud Syukur atas
nikmat-Mu ya Rabb. Engkau kirimkan makanan yang nikmat dan bergizi ini. Itulah
yang aku ucapkan dalam hatiku. Nikmat dan anugerah Tuhan begitu mengalir dalam
setiap langkah hidupku. Di minggu ini selalu ada nasi, lauk pauk (minimal dua varias),
sayur dan buan-buahan.
Minggu kedua di Camp adalah
minggu yang sangat berbeda dengan minggu sebelumnya. Yups, karena minggu ini
menu makanannya “minimalis” dibandingkan minggu sebelumnya. Minggu ini kami
belajar akan “kesederhaan” dalam hal makanan. Makanan yang ada terkesan
“seadanya” dimana kami mau tidak mau harus menyantapnya ( ya iyalah... karena
tidak ada pilihan lainnya, dan tidak bisa membeli makanan di luar).
Senin lalu, menu sarapan kita
adalah nasi goreng (murni nasi tanpa tambahan bahan sosis, ayam atau bakso +
kerupuk). Coffe break dengan pisang
rebus, makan siang dengan lauk ikan asin, coffee
break sore dengan singkong rebus serta makan malam dengan ikan goreng +
daun singkong. Di Hari kedua yaitu hasi selasa, kami sarapan dengan nasi uduk
disirami bumbu kacang, coffee break
dengan menu ketela rambat rebus, makan siang dengan lauk tempe goreng + tumis kacang panjang
serta makan malam degan lauk pepes ikan
teri + kerupuk. Itulah sedikit gambaran dua hari pertama di minggu special ini yang sangat berbeda dengan
minggu-minggu pertama di sini. Tapi diantara kami tetap antusias untuk
menikmati sajian makanan yang kami dapatkan selama seminggu kedepan.
Saat menyantapnya, beberapa dari
kita bercanda dan menjadikan suasana tersebut sebagai bahan lelucon yang lucu
dan membuat kita tertawa bersama sambil menikmati lezatnya makanan yang kami
santap.
“Aduh
Le.. Le... panen Bapak Gagal, mangan sak anane yoo”.. Ujar salah satu teman dengan
bahwa Jawanya.
Kita semua tertawa senang
mendengarnya karena diucapkan dengan logat khas Jawa yang “medhok” oleh salah
seorang kawanku dari Jawa Timur. Itulah sedikit gambaran akan kesederhaan yang
kami lakukan selama di Camp. Kesederhaan ini membuat kami berpikir setahun
kedepan selama kami di penempatan akan berada di pelosok daerah untuk mengajar
dimana kondisinya sangat berbeda dengan kenyamanan yang kami dapatkan sekarang.
Mungkin nanti di sana kami tidak bisa makan nasi seperti di sini, atau tidak
bisa menikmati listrik dan air seperti di Jatiluhur Purwakarta yang berlimpah
air karena waduk. Tidak bisa menikmati sinyal seluler dengan gampang karena
akses yang “tertinggal”.
Ini adalah sarana pembelajaran
buat kami, saranan pembiasaan buat kami untuk bisa selalu sederhana,
mengendalikan diri, menjaga emosi dan semangat untuk terus fokus dengan niat
mulia kami. Semuanya itu adalah pemanis, penyedap rasa serta pewarna kehidupan
yang tidak boleh kami sia-siakan. Aku yakin bahwa “kemewahan” sejati tidak
pernah aku rasakan ketika aku belum hidup dalam “kesederhanaan”. Nikmatnya nasi
hanya bisa kita rasakan ketika kita makan dengan sagu setiap harinya. Nikmatnya
lauk pauk baru kita benar-benar rasakan ketika kita makan tidak berlauk atau atau
hanya berlaukkan kerupuk. Begitu halnya air, akan sangat berharga ketika kita
berada dalam kondisi yang serba kering kerontang. Nikmatnya cahaya akan
benar-benar kita rasakan ketika kita pernah hidup dalam gelap. Kesederhanaan
mendatangkan kewajaran dan keunikan, tidak terkesan “berlebih” atau “kekurangan”.
Itulah sejatinya hidup. Hidup ini
banyak mengajarkan kita akan sebuah pembelajaran, pembiasaan dan pilihan.
Apakah kita memilih untuk kaku terhadap setiap perubahan atau kita “lentur”
sehingga bisa menyesuaikan diri dengan lika-liku kehidupan yang Tuhan gariskan?
Jawabannya ada dalam diri kita semua. Semoga kita mampu menjadi insan manusia
yang selalu belajar, terbiasa akan perubahan serta mampu mengambil hikmah
positif dari setiap pengalaman sepanjang perjalanan hidup kedepan. Terkadang
hidup memang harus sesekali melihat ke bawah agar kita bisa selalu bersyukur
dengan apa yang kita dapatkan sampai sekarang.
Sederhana itu indah :)
ReplyDeleteYups, sederhana itu indah dan menenangkan :-)
Delete