Yang namanya stres sudah pasti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mahasiswa. Berbagai macam kegiatan, seperti mengerjakan tugas, menghadiri kuliah atau rapat organisasi, bahkan yang sangat sederhana seperti berangkat dari rumah atau kos ke tempat kuliah, menuntut fisik dan psyche kita untuk selalu menyesuaikan diri. Respon fisik dan psyche kita terhadap tuntutan lingkungan itulah yang oleh Hans Seyle (dalam Munandar, 2001) dinamakan stres, atau bahasa ilmiahnya, General Adaptation Syndrome (GAS). Stres bisa berdampak positif bagi seseorang (disebut sebagai eustress); yang patut diwaspadai di sini adalah stres yang berdampak negatif, atau disebut juga sebagai distress. Menurut Seyle, distress disebabkan oleh respon terhadap tuntutan lingkungan yang kurang, berlebih, atau salah, sehingga menimbulkan penyakit, baik fisik (radang lambung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung) maupun psikologis. Tentu tidak ada mahasiswa yang ingin aktivitasnya terhambat oleh penyakit, sehingga berbagai macam cara pun dilakukan untuk menanggulangi stres yang timbul, salah satunya adalah dengan menulis.
Mengapa Menulis?
Mungkin ada yang ragu dan bertanya: mengapa menulis? Bukankah menulis justru membuat kita makin banyak menguras pikiran? Tentu bukan sembarang aktivitas menulis yang dapat mengatasi stres. Melalui penelitiannya, psikolog James W. Pennebaker (dalam Hernowo, 2005) memberikan insight mengenai aktivitas menulis yang seperti apa yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikologis. Selama 15 menit setiap harinya selama 4 hari berturut-turut, Ia meminta tiga kelompok mahasiswa untuk menulis mengenai trauma yang pernah mereka alami dengan 3 derajat intensitas yang berbeda: hanya menuliskan fakta yang terkait dengan trauma, hanya melepaskan emosi yang terkait dengan trauma, dan menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan trauma tersebut. Sebagai kelompok pembanding, dengan durasi yang sama ia juga meminta sekelompok mahasiswa untuk menulis mengenai topik netral yang tidak relevan. Hasilnya? Dari kuesioner yang dibagikan setelah eksperimen berakhir, terungkap bahwa mahasiswa yang menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan peristiwa traumatis yang pernah mereka alami memiliki suasana hati yang lebih baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Temuan ini dikonfirmasi dengan pengecekan silang ke unit kesehatan mahasiswa setempat yang melaporkan bahwa rata-rata kunjungan mahasiswa yang termasuk dalam kategori ini turun 50% dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum mereka mengikuti eksperimen. Ketika Pennebaker melakukan penelitian yang serupa beberapa bulan kemudian, ia juga menemukan bahwa mahasiswa yang menulis peristiwa traumatis mereka serta emosi yang terlibat di dalamnya meningkat fungsi kekebalan tubuhnya dibandingkan dengan mahasiswa yang menulis topik yang netral.
Efek yang sangat positif dari aktivitas menulis ini kemudian dijelaskan oleh psikolog Louise Sundararajan dari Pusat Psikiatri Rochester, New York (ABCNews, 28 September 2005). Berdasarkan analisis hasil tulisan pada penelitian lainnya terhadap mahasiswa yang orangtuanya sedang menjalani proses perceraian, Sundararajan menemukan bahwa aktivitas menulis ekspresif –menulis dengan menuangkan segala pikiran dan perasaan tanpa terpaku pada tata bahasa atau ejaan, ‘memaksa’ otak untuk memproses kembali kekuatiran dan ketakutan yang sebelumnya terendap begitu saja di alam bawah sadar dan berpotensi menimbulkan stres. “Menulis adalah sebuah proses,” ujarnya, “Salah satu prosesnya adalah ketika anda menulis, anda mengeluarkan semuanya. Anda mengatakan seberapa anda membencinya atau menyukainya, dan anda menggunakan semua kata yang dapat menggambarkan perasaan anda. Namun ada proses lain. Anda juga menyusun ulang semua masalah-masalah anda. Anda mundur selangkah, melihat, dan merefleksikan semua itu. Itu penting, dan anda harus melakukan keduanya.” Dari analisis yang dilakukan, ia melihat bahwa mahasiswa yang menulis dengan ekspresif lebih mampu menghadapi proses perceraian orangtuanya, dan mampu melihat masalah dalam perspektif yang sesuai serta menghadapinya dengan terbuka. Dengan begitu, Sundararajan menyimpulkan, mereka akan lebih cepat pulih secara psikologis.
Nah, setelah mengetahui manfaat menulis yang begitu besar dalam mengatasi stres, tidak ada salahnya bukan jika kita juga mencoba menulis ekspresif mulai sekarang?
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk mampir. Mari berbagi pandangan, inspirasi dan ilmu pengetahuan.