Menara Kudus merupakan salah satu obyek wisata khususnya wisata ziarah yang ada di kabupaten Kudus. Obyek wisata peninggalan Kanjeng Sunan Kudus ini terletak sekitar 1,5 Km ke arah barat dari pusat kota Kudus (Alun-alun / Simpang Tujuh), tepatnya di Kelurahan Kauman Kecamatan Kota Kudus.
Bagi masyarakat Kudus, Menara merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Karena dikenal hingga luar negeri. Selain itu, seni bangunnya adalah seni arsitektur yang sangat monumental yang bernilai arkeologis dan historis tinggi. Dari aspek arkeologis, Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus ini dibangun Sunan Kudus pada tahun 1685 M. Kepastian tanggal pembuiatan Menara Kudus ini terekam dalam candrasengkala “Gapuro rusak ewahing jagad” yang bermakna tahun Jawa 1609 atau 1685 M.
Bentuk konstruksi dan gaya arsitektur Menara Kudus, mempunyai ketinggian sekitar 17 meter dan mirip dengan candi-candi di Jawa Timur era Majapahit – Singosari (misalnya Candi Jago) dan juga menyerupai menara Kulkul di Bali. Dari segi arsitekturny bisa dilihat bahwa bangunan ini menjadi menjadi simbol “Islam Toleran”, di saat Sunan Kudus menyebarluaskan agama Islam di Kudus dengan tetap menghormati pemeluk agama Hindu-Jawa yang dianut masyarakat setempat. Bentuk fisik Menara Kudus adalah tinggi dan ramping yang dibangun dengan bahan batu-bata merah yang disusun dan dipasang bertumpukan tanpa semen perekat.
Bangunan Menara Kudus tidak dapat dipisahkan dengan Masjid Menara Kudus (Masjid Al-Aqsho) dan Makam Sunan Kudus karena secara geografis-fungsional ketiganya merupakan satu kesatuan yang inherent dengan sejarah berdirinya Kota Kudus.
Obyek Wisata Ziarah ini setiap hari ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah, terutama pada moment Upacara “Buka Luwur” (Penggantian kain kelambu penutup makam Sunan Kudus) yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharrom/Syuro. Peristiwa menarik dalam Upacara Buka Luwur adalah ketika para pengunjung/peziarah berupaya memperoleh nasi bungkus selamatan dan kain luwur bekas penutup makam yang konon dipercaya dapat memberikan keberuntungan bagi yang memperolehnya. Selain “Buka Luwur”, kawasan Menara Kudus juga menjadi pusat keramaian pada saat “Dhandhangan” yaitu tradisi menyambut datangnya bulan Romadlon / bulan Puasa.
Di kawasan Menara Kudus, para pengunjung dapat menikmati makanan khas Kudus, yaitu Soto Kudus dan Jenang Kudus. Sedangkan cinderamata khas Kudus adalah Kain Bordir Kudus (busana muslimah, kerudung, kebaya, dll.).
Cacatan dalam blog ini, Kupersembahkan untuk KEMANUSIAAN. Yang di dalamnya merupakan bagian dari perjalanan, pengalaman, renungan, inspirasi dan refleksi dari kehidupan. Yang di dalamnya aku belajar, berjuang dan memahami arti sebuah kehidupan, Yang didalamnya aku temukan Indahnya kasih sayang Tuhan
Wednesday, December 24, 2008
Kebudayaan dan Proses Pembelajaran kebudayaan
Kebudayaan” atau culture adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan. Definisi kebudayaan telah lama bermunculan mejelang akhir abad kesembilan belas. Namun tokoh pertama yang mencetuskan konsep kebudayaan yang selanjutnya mengisprasi banyak tokoh lainnya untuk mengembangkan konsep kebudayaan adalah Sir Edward Burnett Tylor, seorang ahli antropologi berkebangsaan inggris. Beliau mengungkapkan konsep kebudayaan dengan sangat jelas dan komprehensif. Mendefinisikan kebuayaan sebagai “Kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”
Dari definisi yang dikemukakan oleh Tylor dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kebudayaan terkait dengan sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan moral. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan sangat erat kaitannya dengan sebuah sistem abstrak yang bersumber dari pemikiran manusia. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kebudayaan terbentuk dari sistem pemikiran kritis manusia sehingga sangat berbeda dengan insting yang dimiliki oleh hewan.
2. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat terbentuk karena adanya sistem nilai yang dimiliki oleh anggotanya. Kebudayaan tersusun oleh kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
A. Tiga wujud kebudayaan
J.J. Honingmann memberikan sebuah kerangka konsep wujud kebudayaan. Menurutnya kebudayaan memiliki tiga wujud yang saling terkait erat. Ketiga wujud kebudayaan itu adalah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya
2. Wujud kedua kebudayaan menurut Honingmann adalah sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat
3. Wujud ketiga adalah artefak. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud tertinggi dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide dan gagasan. Bersifat abstrak, tidak dapat digambarkan namun dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berkembang dalam setiap kepala manusia sebagai sebuah hasil pemikiran manusia. Ide dan gagasan tersebut hidup dan senantiasa memberikan sprit dan jiwa kepada masyarakat yang bersangkutan. Gagasan tersebut senantiasa berhubungan erat dengan karakteristik masyarakat sebagai sebuah sistem budaya (social cultural)
Wujud kebudayaan yang kedua adalah suatu sistem aktivitas berpola dari manusia yang meliputi interaksi dan hubungan yang terjalin antarmanusia. Sistem aktivitas ini bersifat kongkret karena dapat kita lihat dan terjadi disekeliling kita. Karena aktivitas ini telah dilakukan dalam jangka waktu yang lama, maka menjadi sebuah aktivitas berpola yang kemudian dijadikan patokan dalam berperilaku. Sebagai contoh, aktivitas masyarakat pesisir yang sebagia besar bermata pencaharian sebagai nelayan akan memiliki pola-pola khusus yang berbeda dengan pola aktivitas masyarakat yang hidup di lereng gunung yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani.
Wujud ketiga dari kebudayaan adalah keseluruhan benda hasil karya manusia (artefak). Tidak hanya benda peninggalan sejarah peradaban manusia masa lampau saja, namun lebih dari itu makna artefak dalam hal ini bersifat luas. Menyangkut keseluruhan benda yang pernah dibuat dan dikembangkan oleh manusia. Bersifat sangat nyata dan paling kongkret karena dapat dilihat, diraba dan diabadikan.
B. Isi Pokok Kebudayaan Universal
Seperti yang telah penulis bahas dalam subbab sebelumnya, bahwa salah satu wujud kebudayaan adalah sebuah kompleks aktivitas terpola dari manusia. Setiap kelompok masyarakat memiliki pola-pola tersendiri yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok masyarakat pesisir memiliki corak aktivitas yang berbeda dengan masyarakat yang bertani. Namun dalam setiap kelompok masyarakat, etnik, maupun bangsa di dunia setidaknya ada persamaan unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan. Unsur pokok kebudayaan yang menjadi inti dari setiap kelompok masyarakat, etnik dan bangsa. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah
1. Sistem bahasa
Sistem bahasa dalam hal ini menyangkut bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal. Setiap bangsa di dunia pasti memiliki bahasa tersendiri untuk dapat berkomunikasi antaranggotanya. Sistem bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan, ide serta gagasan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Sistem pegetahuan
Sistem pengetahuan menyangkut pemahaman dan pola pikir dalam mengolah lingkungannya.
3. Sistem Organisasi sosial
Terkait dengan stratifikasi dan peran yang dimainkan oleh setiap anggota suku bangsa yang bersangkutan, sehingga dapat kita temukan adanya pembagian tugas dan peran seseorang sebagai ketua atau pemimpin dalam setiap suku bangsa.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Terkait dengan hasil karya manusia yang digunakan untuk mengolah lingkungannya dan mempertahankan hidupnya
5. Sistem mata pencaharian hidup
Sebuah sistem peenuhan kebutuhan manusia untuk tetap bertahan hidup dan mengembankan kebudayaannya
6. Sistem kepercayaan
Sistem religi atau kepercayaan adalah sebuah sistem dimana setiap suku bangsa memiliki satu pandangan terhadap kekuatan lain selain diri mereka sendiri. Kekuatan yang lebih besar yang memberikan kehidupan di dunia ini
7. Sistem kesenian
Sistem kesenian sangat terkait dengan ekspresi manusia. Dalam kehidupannya manusia senantiasa mengekspresikan diri melalui berbagai kegiatan untuk memenuhi kepuasan batinnya
Ketujuh unsur universal kebudayaan diatas dimiliki oleh seluruh suku bangsa di dunia. Hal inilah yang memberikan sebuah persamaan inti dari kebudayaan yang meliputi bahasa, kesenian, mata pencaharian, pengetahuan, teknologi, kepercayaan dan organisasi sosial. Sebagai contoh yang mengilustrasikan unsur universal kebudayaan adalah unsur kebudayaan mata pencaharian misalnya, dapat diperinci menjadi : perburuan, pertanian, peternakan. Wujud fisik dari sistem mata pencaharian tersebut dapat berupa perkakas maupun peralatan yang merupakan reprsentasi dari sistem teknologi dan pengetahuan. Dalam sistem kepercayaan, kebudayaan cenderung bisa dilihat dari aspek perilaku manusia itu sendiri. Dalm konteks ini masyarakat desa lebih bisa merepresentasikan sistem kepercayaannya, sebagai contoh tradisi lebaran. Dalam masyarakat desa banyak aktivitas-aktivas yang dilakukan selama lebaran berlangsung antara lain, dengan saling berkunjung ke rumah saudara dekat atau ke rumah orang-orang yang serukun tetangga maupun rukun warga. Trasdisi ini dilakukan idak hanya pada hari pertama lebaran saja, melainkan beberapa hari saja. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi yang sifatnya turun-temurun dan membudaya. Apabila ada warga yang tidak melakukannya maka akan mendapat perlakuan sosial yang berbeda dari warga lain karena dianggap tidak menjalankan budayanya.
C. Proses Pembelajaran kebudayaan
1. Proses Internalisasi
Proses internalisasi seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi diartikan sebagai Proses belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidup manusia.
Pada dasarnya segala macam bakat, emosi, perasaan telah tertanam dalam gen manusia. Sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas dirinya sendiri, manusia dapat mengembangkan berbagai bakat dan perasaan yang dimilkinya. Namun untuk mengembangkan segenap bakat dan potensi diperlukan berbagai stimuli yang berada di sekitarnya. Ketika seorang manusia terlahir ke dunia, lingkungan awal yang akan ditemuinya adalah lingkungan keluarga, lebih spesifik lagi adalah ayah dan ibu. Pada awalnya, seorang bayi hanya mengerti dua hal dalam hidup ini, kepuasan dan ketidak puasan. Namun seiring dengan bejalannya waktu, bertambah pula pengalaman mengenai bermacam-macam perasaan baru yang menjadi modal dasar dalam pembentukan karakter dan kepribadian manusia. Proses pengenalan berbagai macam perasaan yang diperoleh melalui jalan belajar inilah yang dimaksud dengan proses internalisasi. Maka proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
2. Proses Sosialisasi
Berger seorang ahli sosiologi mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Dari penjelasan Berger dapat kita analisis bahwa proses sosialisasi lebih menekankan pada bagaimana cara kita untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma kebudayaan yang berlaku di suatu lingkungan masyarakat. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk penyesuaian diri tersebut yang akan menuntun seorang manusia untuk dapat bergabung dalam kelompok masyarakat. Dalam proses sosialisasi ada satu hubungan kuat antara sebuah sistem sosial dengan individu itu sendiri. Untuk memasuki sistem sosial yang rumit sorang individu harus dapat mempelajari esensi dari sistem sosial lingkungannya.
Sosialisasi ini mempunyai arti yang sangat penting untuk pembelajaran kebudayaan. Hanya lewat proses inilah norma-norma sosial yang merupakan wujud kebudayaan idea yang dimiliki oleh suatu masyarakat diwarisakan ke generasi selanjutnya. Selain itu dengan adanya proses sosialisasi ini sangat membantu individu dalam penerapan langsung kebudayaannya sendiri, bukan lagi tahu tetapi menerapkannya dalam perilaku nyata.
Ada beberapa agen sosialisasi yang mendukung antara lain adalah keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa. Semua agen sosialisasi ini mempunyai peranan penting dan saling terkait satu sama lain. Namun, yang paling mendasar adalah agen sosialisasi keluarga, karena merupakan agen utama dan pertama yang melaksanakan sosialisasi bagi anak-anaknya, mengenalkan budaya kepada anak-anaknya. Di agen sosialisasi inilah merupakan awal mula sesorang mengenal dan belajar budanyanya.
3. Proses Enkulturasi
Proses enkulturasi atau “pembudayaan” dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seorang individu menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dan berkembang dalam kebudayaannya. Dalam proses ini, seorang individu mulai membiasakan nilai-nilai yang telah dikenalnya sebagai suatu kebiasaan pola aktivitas. Berawal dari proses enkulturasi, kebiasaan-kebiasaan yang acap kali dilakukan oleh anggota masyarakat lama kelamaan akan menjadi sebuah kebudayaan. Proses pembisaan atau pembudayaan ini berawal dari perilaku yang dilakukan secara terus menerus dimana dengan begitu sebuah perilaku tersebut akan membentuk pola dan akhirnya menjadi sebuah kebudayaan bersama. Sebagai contoh adalah pembudayaan cara makan yang telah diterapkan dalam lingkungan pondok pesantren. Pertama kali yang terjadi adalah proses internalisasi, terus sosialisasi tentang bagai mana cara makan yang baik, dan terakhir adalah pembudayaan cara makan tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena dilakukan secara terus menerus, maka akan membentuk sebuah pola perilaku dan menjadi sebuah kebudayaan milik bersama. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Hal ini jelas sekali bahwa semua kebudayaan yang sudah ia kenal, dan sudah diinternalisasikan akan dia wujudkan dan wujudkan dalam tindakan nyata.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Tylor dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kebudayaan terkait dengan sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan moral. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan sangat erat kaitannya dengan sebuah sistem abstrak yang bersumber dari pemikiran manusia. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kebudayaan terbentuk dari sistem pemikiran kritis manusia sehingga sangat berbeda dengan insting yang dimiliki oleh hewan.
2. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat terbentuk karena adanya sistem nilai yang dimiliki oleh anggotanya. Kebudayaan tersusun oleh kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat.
A. Tiga wujud kebudayaan
J.J. Honingmann memberikan sebuah kerangka konsep wujud kebudayaan. Menurutnya kebudayaan memiliki tiga wujud yang saling terkait erat. Ketiga wujud kebudayaan itu adalah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya
2. Wujud kedua kebudayaan menurut Honingmann adalah sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat
3. Wujud ketiga adalah artefak. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud tertinggi dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide dan gagasan. Bersifat abstrak, tidak dapat digambarkan namun dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berkembang dalam setiap kepala manusia sebagai sebuah hasil pemikiran manusia. Ide dan gagasan tersebut hidup dan senantiasa memberikan sprit dan jiwa kepada masyarakat yang bersangkutan. Gagasan tersebut senantiasa berhubungan erat dengan karakteristik masyarakat sebagai sebuah sistem budaya (social cultural)
Wujud kebudayaan yang kedua adalah suatu sistem aktivitas berpola dari manusia yang meliputi interaksi dan hubungan yang terjalin antarmanusia. Sistem aktivitas ini bersifat kongkret karena dapat kita lihat dan terjadi disekeliling kita. Karena aktivitas ini telah dilakukan dalam jangka waktu yang lama, maka menjadi sebuah aktivitas berpola yang kemudian dijadikan patokan dalam berperilaku. Sebagai contoh, aktivitas masyarakat pesisir yang sebagia besar bermata pencaharian sebagai nelayan akan memiliki pola-pola khusus yang berbeda dengan pola aktivitas masyarakat yang hidup di lereng gunung yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani.
Wujud ketiga dari kebudayaan adalah keseluruhan benda hasil karya manusia (artefak). Tidak hanya benda peninggalan sejarah peradaban manusia masa lampau saja, namun lebih dari itu makna artefak dalam hal ini bersifat luas. Menyangkut keseluruhan benda yang pernah dibuat dan dikembangkan oleh manusia. Bersifat sangat nyata dan paling kongkret karena dapat dilihat, diraba dan diabadikan.
B. Isi Pokok Kebudayaan Universal
Seperti yang telah penulis bahas dalam subbab sebelumnya, bahwa salah satu wujud kebudayaan adalah sebuah kompleks aktivitas terpola dari manusia. Setiap kelompok masyarakat memiliki pola-pola tersendiri yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok masyarakat pesisir memiliki corak aktivitas yang berbeda dengan masyarakat yang bertani. Namun dalam setiap kelompok masyarakat, etnik, maupun bangsa di dunia setidaknya ada persamaan unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan. Unsur pokok kebudayaan yang menjadi inti dari setiap kelompok masyarakat, etnik dan bangsa. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah
1. Sistem bahasa
Sistem bahasa dalam hal ini menyangkut bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal. Setiap bangsa di dunia pasti memiliki bahasa tersendiri untuk dapat berkomunikasi antaranggotanya. Sistem bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan, ide serta gagasan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Sistem pegetahuan
Sistem pengetahuan menyangkut pemahaman dan pola pikir dalam mengolah lingkungannya.
3. Sistem Organisasi sosial
Terkait dengan stratifikasi dan peran yang dimainkan oleh setiap anggota suku bangsa yang bersangkutan, sehingga dapat kita temukan adanya pembagian tugas dan peran seseorang sebagai ketua atau pemimpin dalam setiap suku bangsa.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Terkait dengan hasil karya manusia yang digunakan untuk mengolah lingkungannya dan mempertahankan hidupnya
5. Sistem mata pencaharian hidup
Sebuah sistem peenuhan kebutuhan manusia untuk tetap bertahan hidup dan mengembankan kebudayaannya
6. Sistem kepercayaan
Sistem religi atau kepercayaan adalah sebuah sistem dimana setiap suku bangsa memiliki satu pandangan terhadap kekuatan lain selain diri mereka sendiri. Kekuatan yang lebih besar yang memberikan kehidupan di dunia ini
7. Sistem kesenian
Sistem kesenian sangat terkait dengan ekspresi manusia. Dalam kehidupannya manusia senantiasa mengekspresikan diri melalui berbagai kegiatan untuk memenuhi kepuasan batinnya
Ketujuh unsur universal kebudayaan diatas dimiliki oleh seluruh suku bangsa di dunia. Hal inilah yang memberikan sebuah persamaan inti dari kebudayaan yang meliputi bahasa, kesenian, mata pencaharian, pengetahuan, teknologi, kepercayaan dan organisasi sosial. Sebagai contoh yang mengilustrasikan unsur universal kebudayaan adalah unsur kebudayaan mata pencaharian misalnya, dapat diperinci menjadi : perburuan, pertanian, peternakan. Wujud fisik dari sistem mata pencaharian tersebut dapat berupa perkakas maupun peralatan yang merupakan reprsentasi dari sistem teknologi dan pengetahuan. Dalam sistem kepercayaan, kebudayaan cenderung bisa dilihat dari aspek perilaku manusia itu sendiri. Dalm konteks ini masyarakat desa lebih bisa merepresentasikan sistem kepercayaannya, sebagai contoh tradisi lebaran. Dalam masyarakat desa banyak aktivitas-aktivas yang dilakukan selama lebaran berlangsung antara lain, dengan saling berkunjung ke rumah saudara dekat atau ke rumah orang-orang yang serukun tetangga maupun rukun warga. Trasdisi ini dilakukan idak hanya pada hari pertama lebaran saja, melainkan beberapa hari saja. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi yang sifatnya turun-temurun dan membudaya. Apabila ada warga yang tidak melakukannya maka akan mendapat perlakuan sosial yang berbeda dari warga lain karena dianggap tidak menjalankan budayanya.
C. Proses Pembelajaran kebudayaan
1. Proses Internalisasi
Proses internalisasi seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi diartikan sebagai Proses belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidup manusia.
Pada dasarnya segala macam bakat, emosi, perasaan telah tertanam dalam gen manusia. Sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas dirinya sendiri, manusia dapat mengembangkan berbagai bakat dan perasaan yang dimilkinya. Namun untuk mengembangkan segenap bakat dan potensi diperlukan berbagai stimuli yang berada di sekitarnya. Ketika seorang manusia terlahir ke dunia, lingkungan awal yang akan ditemuinya adalah lingkungan keluarga, lebih spesifik lagi adalah ayah dan ibu. Pada awalnya, seorang bayi hanya mengerti dua hal dalam hidup ini, kepuasan dan ketidak puasan. Namun seiring dengan bejalannya waktu, bertambah pula pengalaman mengenai bermacam-macam perasaan baru yang menjadi modal dasar dalam pembentukan karakter dan kepribadian manusia. Proses pengenalan berbagai macam perasaan yang diperoleh melalui jalan belajar inilah yang dimaksud dengan proses internalisasi. Maka proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
2. Proses Sosialisasi
Berger seorang ahli sosiologi mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Dari penjelasan Berger dapat kita analisis bahwa proses sosialisasi lebih menekankan pada bagaimana cara kita untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma kebudayaan yang berlaku di suatu lingkungan masyarakat. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk penyesuaian diri tersebut yang akan menuntun seorang manusia untuk dapat bergabung dalam kelompok masyarakat. Dalam proses sosialisasi ada satu hubungan kuat antara sebuah sistem sosial dengan individu itu sendiri. Untuk memasuki sistem sosial yang rumit sorang individu harus dapat mempelajari esensi dari sistem sosial lingkungannya.
Sosialisasi ini mempunyai arti yang sangat penting untuk pembelajaran kebudayaan. Hanya lewat proses inilah norma-norma sosial yang merupakan wujud kebudayaan idea yang dimiliki oleh suatu masyarakat diwarisakan ke generasi selanjutnya. Selain itu dengan adanya proses sosialisasi ini sangat membantu individu dalam penerapan langsung kebudayaannya sendiri, bukan lagi tahu tetapi menerapkannya dalam perilaku nyata.
Ada beberapa agen sosialisasi yang mendukung antara lain adalah keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa. Semua agen sosialisasi ini mempunyai peranan penting dan saling terkait satu sama lain. Namun, yang paling mendasar adalah agen sosialisasi keluarga, karena merupakan agen utama dan pertama yang melaksanakan sosialisasi bagi anak-anaknya, mengenalkan budaya kepada anak-anaknya. Di agen sosialisasi inilah merupakan awal mula sesorang mengenal dan belajar budanyanya.
3. Proses Enkulturasi
Proses enkulturasi atau “pembudayaan” dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seorang individu menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dan berkembang dalam kebudayaannya. Dalam proses ini, seorang individu mulai membiasakan nilai-nilai yang telah dikenalnya sebagai suatu kebiasaan pola aktivitas. Berawal dari proses enkulturasi, kebiasaan-kebiasaan yang acap kali dilakukan oleh anggota masyarakat lama kelamaan akan menjadi sebuah kebudayaan. Proses pembisaan atau pembudayaan ini berawal dari perilaku yang dilakukan secara terus menerus dimana dengan begitu sebuah perilaku tersebut akan membentuk pola dan akhirnya menjadi sebuah kebudayaan bersama. Sebagai contoh adalah pembudayaan cara makan yang telah diterapkan dalam lingkungan pondok pesantren. Pertama kali yang terjadi adalah proses internalisasi, terus sosialisasi tentang bagai mana cara makan yang baik, dan terakhir adalah pembudayaan cara makan tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena dilakukan secara terus menerus, maka akan membentuk sebuah pola perilaku dan menjadi sebuah kebudayaan milik bersama. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Hal ini jelas sekali bahwa semua kebudayaan yang sudah ia kenal, dan sudah diinternalisasikan akan dia wujudkan dan wujudkan dalam tindakan nyata.
PEMBELAJARAN DAN KONDISIONING
1. Pengkondisian Klasikal
Classical Conditioning atau pengkondisian klasik disebutkan bahwa pada tingkah laku responden bisa dilihat bahwa stimulus yang sama akan menimbulkan respons yang sama pada semua organisme dan spesies yang sama, serta tingkah laku responden biasanya menyertakan refleks-refleks yang melibatkan sistem saraf otonom. Bagaimanapun, tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi dimiliki oleh individu melalui belajar dan bisa dikondisikan. Orang pertama yang menemukan bahwa tingkah laku responden itu bisa dikondisikan tidak lain adalah Ivan Pavlov, ahli fisiologi Rusia. Percobaannya menggunakan seekor anjing sebagai subjeknya.
Mula-mula oleh Pavlov anjing percobaan itu diikat dan dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa untuk dipasangi alat pengukur, sehingga nantinya air liur yang keluar bisa ditampung dan diukur banyaknya. Selanjutnya anjing percobaan ini ditaruh pada suatu tempat yang nantinya akan mengeluarkan makanan. Makanan ini akan keluar kehadapan anjing percobaan setiap Pavlov menekan tombol. Kemudian, setiap menghadapi makanan, anjing percobaan akan mengeluarkan air liurnya yang bisa diketahui dengan alat pengukur. Keluarnya air liur dari mulut anjing setelah melihat makanan ini disebut respons tak berkondisi (unconditionied response), sedangkan makanan ini sendiri disebut stimulus tak berkondisi (unconditioned stimulus).
Pada tahap percobaan berikutnya Pavlov mengeluarkan makanan dengan terlebih dahulu membunyikan bel. Jadi, setiap bel dibunyikan anjing akan menerima makanan, dan dari mulutnya akan keluar air liur. Setelah pemberian makanan dengan didahului bunyi bel ini akan dilakukan berkali-kali, Pavlov menemukan bahwa anjing percobaannya telah mengeluarkan air liur begitu mendengar bunyi bel. Kemudian pada tahap terakhir, Pavlov menghentikan pemberian makanan, dan anjing percobaannya hanya menerima bunyi bel. Dan ternyata, meski hanya menerima bunyi bel tanpa menerima makanan, anjing percobaan tetap mengeluarkan air liurnya. Oleh Pavlov air liur yang keluar dari mulut anjing percobaan karena menerima bunyi bel ini disebut respons berkondisi (conditioned response), sedangkan bunyi belnya disebut stimulus berkondisi (conditioned stimulus). Bagaimanapun pemberian bunyi bel saja tanpa makanan itu lambat laun menyebabkan anjing percobaan menghentikan responsnya. Keadaan ini disebut penghapusan respons (extinction). Dari percobaan ini Pavlov menyimpulkan bahwa respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan, dan organisme bisa memiliki respons tertentu (tingkah laku responden) melalui belajar atau latihan.
Percobaan lain yang terkenal mengenai pengkondisian klasik adalah percobaan yang dilakukan oleh Watson dan Rayner pada tahun 1920. ia melukiskan fenomena pengondisian klasik pada manusia. Watson dan koleganya mengondisikan respons ketakutan pada seorang anak berusia 11 bulan yang bernama Albert. Pada awal percobaannya, Watson telah memastikan bahwa Albert tidak menunjukkan rasa takut terhadap sejumlah stimulus tertentu, sperti kapas, topeng, dan monyet. Watson kemudian menghadirkan seekor tikus putih (stimulus berkondisi) bersama-sama dengan suasana mengejutkan (stimulus tak berkondisi) yang dihasilkan melalui pemukulan palu pada sebatang besi tepat dibelakang Albert. Prosedur ini dilakukannya berturut-turut sebanyak tujuh kali, dan Albert akan menangis setiap menghadapinya. Pada tahap berikutnya, tikus putih itu dihadirkan tanpa disertai suara yang mengejutkan. Dan ternyata dengan hanya melihat tikus, Albert menangis ketakutan (respon berkondisi). Pada tahap-tahap selanjutnya Albert menggeneralisasikan respons ketakutan terhadap stimulus-stimulus lain yang tadinya tidak ia takuti meliputi anjing, mantel bulu, topeng, dan bahkan rambut peneliti. Percobaan yang nampaknya kejam ini telah menunjukkan, bagaiman respons-respons ketakutan serupa diperoleh melalui pengkondisian klasik.
2. Pengkondisian Operan
Operant Conditioning merupakan proses mempelajari sesuatu yang menyebabkan tercapainya tujuan tertentu, penelitian operant conditioning dimulai pada abad 19 dengan sejumlah eksperimen oleh E.I. Thorndike. Namun penelitian pengkondisian Skinner lebih sederhana dan lebih diterima secara luas.
Teori Skinner menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan Stimulus Respon (S-R). Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:
a. Respondent response (reflexive response), ayitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, dan respon-respon tersebut secara relatif tetap. Singkatnya tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahului respons. Misalnya, menyempitkan pupil mata untuk mengurangi stimulus cahaya, makanan yang menimbulkan air liur, dan menggigil karena kedinginan. Kesemuanya itu terjadi dengan sendirinya atau spontan. Dan perangsang-perangsang tersebut mendahului respon yang ditimbulkan.
b. Operan response (Instrumental response), yaitu respon yang timbul dan cerkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Dan perangsang-perangsang tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan organisme. Perangsang tersebut mengikuti sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Respon yang diberikan dapat sesuai (benar) atau tidak sesuai (salah) dengan apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar orang terdorong untuk ingin melakukannya kembali.
Perbedaan antara Classical Conditioning dengan Operant Conditioning terletak pada hal-hal berikut:
1. Dalam Classical Conditioning respon dikontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan sebagai stimulus. Sebaliknya operant conditioning mengatakan bahwa pihak luar yang harus menanti adanya respon yang diharapkan benar. Jika respon semacam ini terlihat maka dapat diberikan penguatan. Disini dibicarakan tentang tingkah laku operan atau operan behavior.
2. Classical Conditioning pada umumnya memusatkan tingkah laku terjadi apabila ada stimuli khusus dan tidak peduli apakah perilaku manusia atau hewan memilki konsekuensi tertentu atau tidak. Sedangkan dalam Operant Conditioning tingkah laku hanya menerangkan untuk sebagian kecil dari semua kegiatan. Operant Conditioning memusatkan tingkah laku dengan konsekuen, yaitu konsekuen yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Jadi konsekuen yang menyenangkan akan mengubah tingkah laku. Sedangkan konsekuen yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku.
3. Classical Conditioning mengatakan bahwa stimulus yang tidak terkontrol mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu sendirilah yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai reinforcement. Di dalam Operant Conditioning responlah yang merupakan sumber reinforcement. Adanya respon menyebabkan seseorang memperoleh penguatan. Dan hal ini menyebabkan respon tersebut cenderung untuk diulang-ulang. Perilaku akan semakin sering atau semakin jarang muncul tergantung pada konsekuensi yang mengikutinya.
Operant merupakan tingkah laku yang ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Operant belum tentu didahului oleh stimulus dari luar. Operan conditioning dikatakan telah terbentuk bila dalam frekuensi terjadi tingkah laku operan yang bertambah atau bila timbul tingkah laku operan yang tidak tampak sebelumnya.
Percobaan Skinner berikut dengan menggunakan tikus akan lebih menjelaskan. Dalam eksperimen Skinner, seekor tikus lapar ditempatkan dalam kotak disebut "kotak Skinner". Di dalam kotak tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah tuas yang menonjol dengan piring makanan di bawahnya. Tikus yang berada sendirian di dalam kotak bergerak kesana kemari sambil mengeksplorasi. Kadang-kadang ia mengamati tuas dan menekannya. Peneliti memasang wadah di luar kotak. Tiap kali tikus menekan tuas, pelet makanan kecil masuk kepiring. Tikus memakan pelet makanan itu dan segera menekan tuas lagi. Makanan memperkuat (reinforcer) penekan tuas, dan kecepatan penekanan tuas meningkat secara drastis. Jika wadah makanan dilepas sehingga tindakan menekan tuas tidak lagi menghasilkan pelet makanan, kecepatan menekan tuas akan menurun. Dengan demikian respon operant conditioning mengalami pemadaman jika tidak terdapat penguatan.
Jadi, operant conditioning meningkatkan kemungkinan respon dengan mengikuti perilaku dengan reinforcer. Tingkat respon organisme sangat berguna untuk mengukur kekuatan operan, semakin sering respon terjadi selama interval waktu tertentu, semakin besar kekuatannya. Operan conditioning banyak menjelaskan kepada kita terkait cara membesarkan anak. Penerapan pengkondisian operan dalam membesarkan anak berfokus pada hubungan antara suatu respon
dengan penguatnya.
Classical Conditioning atau pengkondisian klasik disebutkan bahwa pada tingkah laku responden bisa dilihat bahwa stimulus yang sama akan menimbulkan respons yang sama pada semua organisme dan spesies yang sama, serta tingkah laku responden biasanya menyertakan refleks-refleks yang melibatkan sistem saraf otonom. Bagaimanapun, tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi dimiliki oleh individu melalui belajar dan bisa dikondisikan. Orang pertama yang menemukan bahwa tingkah laku responden itu bisa dikondisikan tidak lain adalah Ivan Pavlov, ahli fisiologi Rusia. Percobaannya menggunakan seekor anjing sebagai subjeknya.
Mula-mula oleh Pavlov anjing percobaan itu diikat dan dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa untuk dipasangi alat pengukur, sehingga nantinya air liur yang keluar bisa ditampung dan diukur banyaknya. Selanjutnya anjing percobaan ini ditaruh pada suatu tempat yang nantinya akan mengeluarkan makanan. Makanan ini akan keluar kehadapan anjing percobaan setiap Pavlov menekan tombol. Kemudian, setiap menghadapi makanan, anjing percobaan akan mengeluarkan air liurnya yang bisa diketahui dengan alat pengukur. Keluarnya air liur dari mulut anjing setelah melihat makanan ini disebut respons tak berkondisi (unconditionied response), sedangkan makanan ini sendiri disebut stimulus tak berkondisi (unconditioned stimulus).
Pada tahap percobaan berikutnya Pavlov mengeluarkan makanan dengan terlebih dahulu membunyikan bel. Jadi, setiap bel dibunyikan anjing akan menerima makanan, dan dari mulutnya akan keluar air liur. Setelah pemberian makanan dengan didahului bunyi bel ini akan dilakukan berkali-kali, Pavlov menemukan bahwa anjing percobaannya telah mengeluarkan air liur begitu mendengar bunyi bel. Kemudian pada tahap terakhir, Pavlov menghentikan pemberian makanan, dan anjing percobaannya hanya menerima bunyi bel. Dan ternyata, meski hanya menerima bunyi bel tanpa menerima makanan, anjing percobaan tetap mengeluarkan air liurnya. Oleh Pavlov air liur yang keluar dari mulut anjing percobaan karena menerima bunyi bel ini disebut respons berkondisi (conditioned response), sedangkan bunyi belnya disebut stimulus berkondisi (conditioned stimulus). Bagaimanapun pemberian bunyi bel saja tanpa makanan itu lambat laun menyebabkan anjing percobaan menghentikan responsnya. Keadaan ini disebut penghapusan respons (extinction). Dari percobaan ini Pavlov menyimpulkan bahwa respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan, dan organisme bisa memiliki respons tertentu (tingkah laku responden) melalui belajar atau latihan.
Percobaan lain yang terkenal mengenai pengkondisian klasik adalah percobaan yang dilakukan oleh Watson dan Rayner pada tahun 1920. ia melukiskan fenomena pengondisian klasik pada manusia. Watson dan koleganya mengondisikan respons ketakutan pada seorang anak berusia 11 bulan yang bernama Albert. Pada awal percobaannya, Watson telah memastikan bahwa Albert tidak menunjukkan rasa takut terhadap sejumlah stimulus tertentu, sperti kapas, topeng, dan monyet. Watson kemudian menghadirkan seekor tikus putih (stimulus berkondisi) bersama-sama dengan suasana mengejutkan (stimulus tak berkondisi) yang dihasilkan melalui pemukulan palu pada sebatang besi tepat dibelakang Albert. Prosedur ini dilakukannya berturut-turut sebanyak tujuh kali, dan Albert akan menangis setiap menghadapinya. Pada tahap berikutnya, tikus putih itu dihadirkan tanpa disertai suara yang mengejutkan. Dan ternyata dengan hanya melihat tikus, Albert menangis ketakutan (respon berkondisi). Pada tahap-tahap selanjutnya Albert menggeneralisasikan respons ketakutan terhadap stimulus-stimulus lain yang tadinya tidak ia takuti meliputi anjing, mantel bulu, topeng, dan bahkan rambut peneliti. Percobaan yang nampaknya kejam ini telah menunjukkan, bagaiman respons-respons ketakutan serupa diperoleh melalui pengkondisian klasik.
2. Pengkondisian Operan
Operant Conditioning merupakan proses mempelajari sesuatu yang menyebabkan tercapainya tujuan tertentu, penelitian operant conditioning dimulai pada abad 19 dengan sejumlah eksperimen oleh E.I. Thorndike. Namun penelitian pengkondisian Skinner lebih sederhana dan lebih diterima secara luas.
Teori Skinner menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan Stimulus Respon (S-R). Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:
a. Respondent response (reflexive response), ayitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, dan respon-respon tersebut secara relatif tetap. Singkatnya tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahului respons. Misalnya, menyempitkan pupil mata untuk mengurangi stimulus cahaya, makanan yang menimbulkan air liur, dan menggigil karena kedinginan. Kesemuanya itu terjadi dengan sendirinya atau spontan. Dan perangsang-perangsang tersebut mendahului respon yang ditimbulkan.
b. Operan response (Instrumental response), yaitu respon yang timbul dan cerkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Dan perangsang-perangsang tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan organisme. Perangsang tersebut mengikuti sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Respon yang diberikan dapat sesuai (benar) atau tidak sesuai (salah) dengan apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar orang terdorong untuk ingin melakukannya kembali.
Perbedaan antara Classical Conditioning dengan Operant Conditioning terletak pada hal-hal berikut:
1. Dalam Classical Conditioning respon dikontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan sebagai stimulus. Sebaliknya operant conditioning mengatakan bahwa pihak luar yang harus menanti adanya respon yang diharapkan benar. Jika respon semacam ini terlihat maka dapat diberikan penguatan. Disini dibicarakan tentang tingkah laku operan atau operan behavior.
2. Classical Conditioning pada umumnya memusatkan tingkah laku terjadi apabila ada stimuli khusus dan tidak peduli apakah perilaku manusia atau hewan memilki konsekuensi tertentu atau tidak. Sedangkan dalam Operant Conditioning tingkah laku hanya menerangkan untuk sebagian kecil dari semua kegiatan. Operant Conditioning memusatkan tingkah laku dengan konsekuen, yaitu konsekuen yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Jadi konsekuen yang menyenangkan akan mengubah tingkah laku. Sedangkan konsekuen yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku.
3. Classical Conditioning mengatakan bahwa stimulus yang tidak terkontrol mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu sendirilah yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai reinforcement. Di dalam Operant Conditioning responlah yang merupakan sumber reinforcement. Adanya respon menyebabkan seseorang memperoleh penguatan. Dan hal ini menyebabkan respon tersebut cenderung untuk diulang-ulang. Perilaku akan semakin sering atau semakin jarang muncul tergantung pada konsekuensi yang mengikutinya.
Operant merupakan tingkah laku yang ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Operant belum tentu didahului oleh stimulus dari luar. Operan conditioning dikatakan telah terbentuk bila dalam frekuensi terjadi tingkah laku operan yang bertambah atau bila timbul tingkah laku operan yang tidak tampak sebelumnya.
Percobaan Skinner berikut dengan menggunakan tikus akan lebih menjelaskan. Dalam eksperimen Skinner, seekor tikus lapar ditempatkan dalam kotak disebut "kotak Skinner". Di dalam kotak tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah tuas yang menonjol dengan piring makanan di bawahnya. Tikus yang berada sendirian di dalam kotak bergerak kesana kemari sambil mengeksplorasi. Kadang-kadang ia mengamati tuas dan menekannya. Peneliti memasang wadah di luar kotak. Tiap kali tikus menekan tuas, pelet makanan kecil masuk kepiring. Tikus memakan pelet makanan itu dan segera menekan tuas lagi. Makanan memperkuat (reinforcer) penekan tuas, dan kecepatan penekanan tuas meningkat secara drastis. Jika wadah makanan dilepas sehingga tindakan menekan tuas tidak lagi menghasilkan pelet makanan, kecepatan menekan tuas akan menurun. Dengan demikian respon operant conditioning mengalami pemadaman jika tidak terdapat penguatan.
Jadi, operant conditioning meningkatkan kemungkinan respon dengan mengikuti perilaku dengan reinforcer. Tingkat respon organisme sangat berguna untuk mengukur kekuatan operan, semakin sering respon terjadi selama interval waktu tertentu, semakin besar kekuatannya. Operan conditioning banyak menjelaskan kepada kita terkait cara membesarkan anak. Penerapan pengkondisian operan dalam membesarkan anak berfokus pada hubungan antara suatu respon
dengan penguatnya.
Saturday, December 6, 2008
Kekuatan ESQ
Kecerdasan Spiritual Emosional dianggap oleh banyak orang sebagai suatu yang paling penting dari sekian banyak kecerdasan, memiliki kekuatan mentransformasikan kehidupan, mempengaruhi peradaban dunia dan sejarahnya. Mengembangkan kecerdasan spiritual akan membuat manusia melihat sesuatu lebih tenang, meraih kembali antusiasme, menambah energi, menciptakan kegembiraan dan kegigihan yang merupakan ciri khas anak-anak.
Ada "sepuluh kebaikan" yang digabungkan untuk membentuk suatu kecerdasan emosional spiritual, yaitu:
1. Membuat "Gambar Besar"
Kejadian anda adalah suatu keajaiban dan anda akan belajar beberapa faktor yang luar biasa tentang diri anda dan hubungannya dengan alam. Setiap kita punya pengaruh terhadap sejarah.
2. Mengungkap Nilai Anda
Perilaku anda ditentukan oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip, yang memiliki pengaruh besar terhadap kemungkinan sukses anda dalam hidup. Mengungkapkan pembentukan dan pengembangan prinsip-prinsip dan akan mengenalkan pada pemikiran Nabi Muhammad SAW, Budha, dan lain sebagainya.
3. Visi dan Tujuan Hidup Anda
Mengungkapkan kekuatan visi dan kemampuan anda untuk merencanakan, yang dapat mentransfer hidup anda menjadi sukses. Dengan tujuan yang jelas, hidup anda akan mencapai arti dan arah, sehingga membuat anda menjadi lebih sehat, kuat dan percaya diri.
4. Kasih Sayang: Memahami Diri Anda dan Orang Lain
Sesungguhnya diri anda mengagumkan. Dengan latihan dan permainan khusus yang berinteraksi dengan orang lain akan mendemonstrasikan pada anda betapa kreatif dan uniknya anda, sehingga memunculkan kualitas spiritual untuk mengembangkan kasih sayang dan pengertian.
5. Memberi dan Menerima! Amal dan Syukur
Kebaikan kembar, yaitu Amal dan Syukur akan memperbesar kecerdasan spiritual anda beberapa kali lipat. Jiwa anda belajar bernafas kedalam (syukur) dan menghembuskan nafas keluar (amal).
6. Kekuatan dari Tertawa
Tertawa adalah kualitas vital dari kecerdasan spiritual dan memberi banyak manfaat termasuk mengurangi level stress, kehidupan yang ceria dan bahagia, sehingga hidup lebih lama dan sehat.
7. Menuju Taman Bermain Anak
Semakin cerdas spiritual anda, akan menunjukkan kepolosan diri anda seperti anak-anak. Seperti layaknya karakter khas anak-anak, yaitu keceriaan, kegembiraan, spontanitas, antusias dan semangat berpetualang akan meningkat.
8. Kekuatan ritual
Kekuatan ritual yang dipelajari dan dilaksanakan serta menciptakan ritual sendiri, akan menimbulkan efek besar terhadap setiap yang ada pada otak, tubuh dan jiwa anda.
9. Damai
Mempelajari teknik mengurangi dan menghilangkan stress dan mengolah lingkungan internal yang tenang dan tenteram, sehingga akan terbebas dari gangguan mental, kecemasan dan stress.
10. Yang Anda Butuhkan adalah Cinta
Memperkenalkan kekuatan cinta. Dengan membaca kisah petualangan, godaan dan kesengsaraan, kematian dan harapan, memberikan teknik dan pendekatan untuk meringankan penderitaan, rasa sakit dan putus asa.
Ada "sepuluh kebaikan" yang digabungkan untuk membentuk suatu kecerdasan emosional spiritual, yaitu:
1. Membuat "Gambar Besar"
Kejadian anda adalah suatu keajaiban dan anda akan belajar beberapa faktor yang luar biasa tentang diri anda dan hubungannya dengan alam. Setiap kita punya pengaruh terhadap sejarah.
2. Mengungkap Nilai Anda
Perilaku anda ditentukan oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip, yang memiliki pengaruh besar terhadap kemungkinan sukses anda dalam hidup. Mengungkapkan pembentukan dan pengembangan prinsip-prinsip dan akan mengenalkan pada pemikiran Nabi Muhammad SAW, Budha, dan lain sebagainya.
3. Visi dan Tujuan Hidup Anda
Mengungkapkan kekuatan visi dan kemampuan anda untuk merencanakan, yang dapat mentransfer hidup anda menjadi sukses. Dengan tujuan yang jelas, hidup anda akan mencapai arti dan arah, sehingga membuat anda menjadi lebih sehat, kuat dan percaya diri.
4. Kasih Sayang: Memahami Diri Anda dan Orang Lain
Sesungguhnya diri anda mengagumkan. Dengan latihan dan permainan khusus yang berinteraksi dengan orang lain akan mendemonstrasikan pada anda betapa kreatif dan uniknya anda, sehingga memunculkan kualitas spiritual untuk mengembangkan kasih sayang dan pengertian.
5. Memberi dan Menerima! Amal dan Syukur
Kebaikan kembar, yaitu Amal dan Syukur akan memperbesar kecerdasan spiritual anda beberapa kali lipat. Jiwa anda belajar bernafas kedalam (syukur) dan menghembuskan nafas keluar (amal).
6. Kekuatan dari Tertawa
Tertawa adalah kualitas vital dari kecerdasan spiritual dan memberi banyak manfaat termasuk mengurangi level stress, kehidupan yang ceria dan bahagia, sehingga hidup lebih lama dan sehat.
7. Menuju Taman Bermain Anak
Semakin cerdas spiritual anda, akan menunjukkan kepolosan diri anda seperti anak-anak. Seperti layaknya karakter khas anak-anak, yaitu keceriaan, kegembiraan, spontanitas, antusias dan semangat berpetualang akan meningkat.
8. Kekuatan ritual
Kekuatan ritual yang dipelajari dan dilaksanakan serta menciptakan ritual sendiri, akan menimbulkan efek besar terhadap setiap yang ada pada otak, tubuh dan jiwa anda.
9. Damai
Mempelajari teknik mengurangi dan menghilangkan stress dan mengolah lingkungan internal yang tenang dan tenteram, sehingga akan terbebas dari gangguan mental, kecemasan dan stress.
10. Yang Anda Butuhkan adalah Cinta
Memperkenalkan kekuatan cinta. Dengan membaca kisah petualangan, godaan dan kesengsaraan, kematian dan harapan, memberikan teknik dan pendekatan untuk meringankan penderitaan, rasa sakit dan putus asa.
Sifat-sifat Pemimpin Luar Biasa
Karakter anda atau kemampuan anda. Mereka ingin memastikan apakah anda adalah seseorang yang pantas mereka ikuti, atau apakah anda memiliki kemampuan untuk membawa mereka pada keberhasilan. Tentu ada banyak pertimbangan, namun kali ini kita akan memusatkan perhatian pada diskusi untuk mengetahui macam-macam karakter yang membuat orang lain mengikuti kepemimpinan anda.
1. Integritas.
Integritas adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang anda katakan akan anda lakukan. Integritas membuat anda dapat dipercaya. Integritas membuat orang lain mengandalkan anda. Integritas adalah penepatan janji-janji anda.Satu hal yang membuat sebagian besar orang enggan mengikuti anda adalah bila mereka tak sepenuhnya merasa yakin bahwa anda akan membawa mereka menuju ke tujuan yang anda janjikan. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang mempunyai integritas? Bila ya, maka anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
2 Optimisme.
Takkan ada orang yang mau mengikuti anda bila anda memandang suram masa depan. Mereka hanya mau mengikuti seseorang yang bisa melihat masa depan dan memberitahukan pada mereka bahwa di depan sana terbentang tempat yang lebih baik, dan mereka dapat mencapai tempat itu. Apakah anda melihat gelas itu separuh kosong? Bila ya, anda adalah seorang pesimis. Apakah anda melihat gelas itu separuh berisi? Bila ya, anda adalah seorang optimis.
Apakah anda melihatnya sebagai segelas penuh; yaitu separuh berisi air dan separuh lagi berisi udara? Maka anda adalah seorang yang super optimis. Apakah anda dikenal sebagai seorang yang optimis? Bila ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
3. Menyukai perubahan.
Pemimpin adalah mereka yang melihat adanya kebutuhan akan perubahan, bahkan mereka bersedia untuk memicu perubahan itu. Sedangkan pengikut lebih suka untuk tinggal di tempat mereka sendiri. Pemimpin melihat adanya kebaikan di balik perubahan dan mengkomunikasikanny a dengan para pengikut mereka. Jika anda tidak berubah, anda takkan tumbuh. Apakah anda anda dikenal sebagai seseorang yang memicu perubahan? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
4. Berani menghadapi resiko.
Kapan pun kita mencoba sesuatu yang baru, kita mengambil resiko. Keberanian untuk mengambil resiko adalah bagian dari pertumbuhan yang teramat penting.Kebanyak orang menghindari resiko. Karena itu, mereka bukan pemimpin. Para pemimpin menghitung resiko dan keuntungan yang ada di balik resiko. Mereka mengkomunikasikanny a pada pengikut mereka dan melangkah pada hari esok yang lebih baik. Apakah anda dikenal sebagai seorang yang berani mengambil resiko? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
5. Ulet.
Kecenderungan dari pengikut adalah mereka menyerah saat sesuatunya menjadi sulit. Ketika mereka mencoba untuk yang ke dua atau ke tiga kalinya dan gagal, mereka lalu mencanangkan motto, "Jika anda gagal di langkah pertama, sudahlah menyerahlah dan lakukan sesuatu yang lain." Jelas saja mereka melakukan itu, karena mereka bukan pemimpin. Para pemimpin itu tahu apa yang ada di balik tembok batu, dan mereka akan selalu berusaha menggapainya. Lalu mereka mengajak orang lain untuk terus berusaha. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang ulet, tangguh, dan berdaya tahan tinggi? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
6. Katalistis.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang secara luar biasa mampu menggerakkan orang lain untuk melangkah. Mereka bisa mengajak orang lain keluar dari zone kenyamanan dan bergerak menuju tujuan mereka. Mereka mampu membangkitkan gairah, antusiasme, dan tindakan dari para pengikut. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang mampu menggerakkan orang lain? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
7. Berdedikasi/ komit.
Para pengikut menginginkan seseorang yang lebih mencurahkan perhatian dan komit ketimbang diri mereka sendiri. Pengikut akan mengikuti pemimpin yang senantiasa bekerja dan berdedikasi karena mereka melihat betapa pentingnya pencapaian tugas-tugas dan tujuan. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang komit dan senantiasa mencurahkan perhatian anda pada tujuan? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
Sumber : Character Traits of Extraordinary Leaders
1. Integritas.
Integritas adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang anda katakan akan anda lakukan. Integritas membuat anda dapat dipercaya. Integritas membuat orang lain mengandalkan anda. Integritas adalah penepatan janji-janji anda.Satu hal yang membuat sebagian besar orang enggan mengikuti anda adalah bila mereka tak sepenuhnya merasa yakin bahwa anda akan membawa mereka menuju ke tujuan yang anda janjikan. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang mempunyai integritas? Bila ya, maka anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
2 Optimisme.
Takkan ada orang yang mau mengikuti anda bila anda memandang suram masa depan. Mereka hanya mau mengikuti seseorang yang bisa melihat masa depan dan memberitahukan pada mereka bahwa di depan sana terbentang tempat yang lebih baik, dan mereka dapat mencapai tempat itu. Apakah anda melihat gelas itu separuh kosong? Bila ya, anda adalah seorang pesimis. Apakah anda melihat gelas itu separuh berisi? Bila ya, anda adalah seorang optimis.
Apakah anda melihatnya sebagai segelas penuh; yaitu separuh berisi air dan separuh lagi berisi udara? Maka anda adalah seorang yang super optimis. Apakah anda dikenal sebagai seorang yang optimis? Bila ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
3. Menyukai perubahan.
Pemimpin adalah mereka yang melihat adanya kebutuhan akan perubahan, bahkan mereka bersedia untuk memicu perubahan itu. Sedangkan pengikut lebih suka untuk tinggal di tempat mereka sendiri. Pemimpin melihat adanya kebaikan di balik perubahan dan mengkomunikasikanny a dengan para pengikut mereka. Jika anda tidak berubah, anda takkan tumbuh. Apakah anda anda dikenal sebagai seseorang yang memicu perubahan? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
4. Berani menghadapi resiko.
Kapan pun kita mencoba sesuatu yang baru, kita mengambil resiko. Keberanian untuk mengambil resiko adalah bagian dari pertumbuhan yang teramat penting.Kebanyak orang menghindari resiko. Karena itu, mereka bukan pemimpin. Para pemimpin menghitung resiko dan keuntungan yang ada di balik resiko. Mereka mengkomunikasikanny a pada pengikut mereka dan melangkah pada hari esok yang lebih baik. Apakah anda dikenal sebagai seorang yang berani mengambil resiko? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
5. Ulet.
Kecenderungan dari pengikut adalah mereka menyerah saat sesuatunya menjadi sulit. Ketika mereka mencoba untuk yang ke dua atau ke tiga kalinya dan gagal, mereka lalu mencanangkan motto, "Jika anda gagal di langkah pertama, sudahlah menyerahlah dan lakukan sesuatu yang lain." Jelas saja mereka melakukan itu, karena mereka bukan pemimpin. Para pemimpin itu tahu apa yang ada di balik tembok batu, dan mereka akan selalu berusaha menggapainya. Lalu mereka mengajak orang lain untuk terus berusaha. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang ulet, tangguh, dan berdaya tahan tinggi? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
6. Katalistis.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang secara luar biasa mampu menggerakkan orang lain untuk melangkah. Mereka bisa mengajak orang lain keluar dari zone kenyamanan dan bergerak menuju tujuan mereka. Mereka mampu membangkitkan gairah, antusiasme, dan tindakan dari para pengikut. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang mampu menggerakkan orang lain? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
7. Berdedikasi/ komit.
Para pengikut menginginkan seseorang yang lebih mencurahkan perhatian dan komit ketimbang diri mereka sendiri. Pengikut akan mengikuti pemimpin yang senantiasa bekerja dan berdedikasi karena mereka melihat betapa pentingnya pencapaian tugas-tugas dan tujuan. Apakah anda dikenal sebagai seseorang yang komit dan senantiasa mencurahkan perhatian anda pada tujuan? Jika ya, anda layak menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
Sumber : Character Traits of Extraordinary Leaders
LAGI STRESS ?? MENULIS AJA !!!
Yang namanya stres sudah pasti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mahasiswa. Berbagai macam kegiatan, seperti mengerjakan tugas, menghadiri kuliah atau rapat organisasi, bahkan yang sangat sederhana seperti berangkat dari rumah atau kos ke tempat kuliah, menuntut fisik dan psyche kita untuk selalu menyesuaikan diri. Respon fisik dan psyche kita terhadap tuntutan lingkungan itulah yang oleh Hans Seyle (dalam Munandar, 2001) dinamakan stres, atau bahasa ilmiahnya, General Adaptation Syndrome (GAS). Stres bisa berdampak positif bagi seseorang (disebut sebagai eustress); yang patut diwaspadai di sini adalah stres yang berdampak negatif, atau disebut juga sebagai distress. Menurut Seyle, distress disebabkan oleh respon terhadap tuntutan lingkungan yang kurang, berlebih, atau salah, sehingga menimbulkan penyakit, baik fisik (radang lambung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung) maupun psikologis. Tentu tidak ada mahasiswa yang ingin aktivitasnya terhambat oleh penyakit, sehingga berbagai macam cara pun dilakukan untuk menanggulangi stres yang timbul, salah satunya adalah dengan menulis.
Mengapa Menulis?
Mungkin ada yang ragu dan bertanya: mengapa menulis? Bukankah menulis justru membuat kita makin banyak menguras pikiran? Tentu bukan sembarang aktivitas menulis yang dapat mengatasi stres. Melalui penelitiannya, psikolog James W. Pennebaker (dalam Hernowo, 2005) memberikan insight mengenai aktivitas menulis yang seperti apa yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikologis. Selama 15 menit setiap harinya selama 4 hari berturut-turut, Ia meminta tiga kelompok mahasiswa untuk menulis mengenai trauma yang pernah mereka alami dengan 3 derajat intensitas yang berbeda: hanya menuliskan fakta yang terkait dengan trauma, hanya melepaskan emosi yang terkait dengan trauma, dan menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan trauma tersebut. Sebagai kelompok pembanding, dengan durasi yang sama ia juga meminta sekelompok mahasiswa untuk menulis mengenai topik netral yang tidak relevan. Hasilnya? Dari kuesioner yang dibagikan setelah eksperimen berakhir, terungkap bahwa mahasiswa yang menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan peristiwa traumatis yang pernah mereka alami memiliki suasana hati yang lebih baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Temuan ini dikonfirmasi dengan pengecekan silang ke unit kesehatan mahasiswa setempat yang melaporkan bahwa rata-rata kunjungan mahasiswa yang termasuk dalam kategori ini turun 50% dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum mereka mengikuti eksperimen. Ketika Pennebaker melakukan penelitian yang serupa beberapa bulan kemudian, ia juga menemukan bahwa mahasiswa yang menulis peristiwa traumatis mereka serta emosi yang terlibat di dalamnya meningkat fungsi kekebalan tubuhnya dibandingkan dengan mahasiswa yang menulis topik yang netral.
Efek yang sangat positif dari aktivitas menulis ini kemudian dijelaskan oleh psikolog Louise Sundararajan dari Pusat Psikiatri Rochester, New York (ABCNews, 28 September 2005). Berdasarkan analisis hasil tulisan pada penelitian lainnya terhadap mahasiswa yang orangtuanya sedang menjalani proses perceraian, Sundararajan menemukan bahwa aktivitas menulis ekspresif –menulis dengan menuangkan segala pikiran dan perasaan tanpa terpaku pada tata bahasa atau ejaan, ‘memaksa’ otak untuk memproses kembali kekuatiran dan ketakutan yang sebelumnya terendap begitu saja di alam bawah sadar dan berpotensi menimbulkan stres. “Menulis adalah sebuah proses,” ujarnya, “Salah satu prosesnya adalah ketika anda menulis, anda mengeluarkan semuanya. Anda mengatakan seberapa anda membencinya atau menyukainya, dan anda menggunakan semua kata yang dapat menggambarkan perasaan anda. Namun ada proses lain. Anda juga menyusun ulang semua masalah-masalah anda. Anda mundur selangkah, melihat, dan merefleksikan semua itu. Itu penting, dan anda harus melakukan keduanya.” Dari analisis yang dilakukan, ia melihat bahwa mahasiswa yang menulis dengan ekspresif lebih mampu menghadapi proses perceraian orangtuanya, dan mampu melihat masalah dalam perspektif yang sesuai serta menghadapinya dengan terbuka. Dengan begitu, Sundararajan menyimpulkan, mereka akan lebih cepat pulih secara psikologis.
Nah, setelah mengetahui manfaat menulis yang begitu besar dalam mengatasi stres, tidak ada salahnya bukan jika kita juga mencoba menulis ekspresif mulai sekarang?
Mengapa Menulis?
Mungkin ada yang ragu dan bertanya: mengapa menulis? Bukankah menulis justru membuat kita makin banyak menguras pikiran? Tentu bukan sembarang aktivitas menulis yang dapat mengatasi stres. Melalui penelitiannya, psikolog James W. Pennebaker (dalam Hernowo, 2005) memberikan insight mengenai aktivitas menulis yang seperti apa yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikologis. Selama 15 menit setiap harinya selama 4 hari berturut-turut, Ia meminta tiga kelompok mahasiswa untuk menulis mengenai trauma yang pernah mereka alami dengan 3 derajat intensitas yang berbeda: hanya menuliskan fakta yang terkait dengan trauma, hanya melepaskan emosi yang terkait dengan trauma, dan menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan trauma tersebut. Sebagai kelompok pembanding, dengan durasi yang sama ia juga meminta sekelompok mahasiswa untuk menulis mengenai topik netral yang tidak relevan. Hasilnya? Dari kuesioner yang dibagikan setelah eksperimen berakhir, terungkap bahwa mahasiswa yang menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan peristiwa traumatis yang pernah mereka alami memiliki suasana hati yang lebih baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Temuan ini dikonfirmasi dengan pengecekan silang ke unit kesehatan mahasiswa setempat yang melaporkan bahwa rata-rata kunjungan mahasiswa yang termasuk dalam kategori ini turun 50% dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum mereka mengikuti eksperimen. Ketika Pennebaker melakukan penelitian yang serupa beberapa bulan kemudian, ia juga menemukan bahwa mahasiswa yang menulis peristiwa traumatis mereka serta emosi yang terlibat di dalamnya meningkat fungsi kekebalan tubuhnya dibandingkan dengan mahasiswa yang menulis topik yang netral.
Efek yang sangat positif dari aktivitas menulis ini kemudian dijelaskan oleh psikolog Louise Sundararajan dari Pusat Psikiatri Rochester, New York (ABCNews, 28 September 2005). Berdasarkan analisis hasil tulisan pada penelitian lainnya terhadap mahasiswa yang orangtuanya sedang menjalani proses perceraian, Sundararajan menemukan bahwa aktivitas menulis ekspresif –menulis dengan menuangkan segala pikiran dan perasaan tanpa terpaku pada tata bahasa atau ejaan, ‘memaksa’ otak untuk memproses kembali kekuatiran dan ketakutan yang sebelumnya terendap begitu saja di alam bawah sadar dan berpotensi menimbulkan stres. “Menulis adalah sebuah proses,” ujarnya, “Salah satu prosesnya adalah ketika anda menulis, anda mengeluarkan semuanya. Anda mengatakan seberapa anda membencinya atau menyukainya, dan anda menggunakan semua kata yang dapat menggambarkan perasaan anda. Namun ada proses lain. Anda juga menyusun ulang semua masalah-masalah anda. Anda mundur selangkah, melihat, dan merefleksikan semua itu. Itu penting, dan anda harus melakukan keduanya.” Dari analisis yang dilakukan, ia melihat bahwa mahasiswa yang menulis dengan ekspresif lebih mampu menghadapi proses perceraian orangtuanya, dan mampu melihat masalah dalam perspektif yang sesuai serta menghadapinya dengan terbuka. Dengan begitu, Sundararajan menyimpulkan, mereka akan lebih cepat pulih secara psikologis.
Nah, setelah mengetahui manfaat menulis yang begitu besar dalam mengatasi stres, tidak ada salahnya bukan jika kita juga mencoba menulis ekspresif mulai sekarang?
ADAKALANYA KITA MEMBUTUHKAN DIAM*
Di kala anda tak mempunyai kata² untuk diucapkan, diamlah.
Lebih mudah mengetahui kapan anda harus berbicara dan mengumbar perkataan.
Namun, teramat sulit menjaga kapan sebuah jeda harus didiamkan.
Ingatlah, bibir bukan hanya untuk dibuka lebar².
Lebih sering kita perlu untuk mengatupkannya rapat².
Berbicara seringkali bagaikan menghamburkan paku pada jalan yang akan dilalui. Kita tak tahu pada paku yang manakah kita akan jatuh tersungkur.
Berbicara memerlukan sebuah pengendalian diri agar kata² berbicara sebagaimana mestinya.
Sedangkan diam adalah pengendalian itu sendiri yang harus diketukkan untuk menjaga sebuah harmoni.
Itulah mengapa orang bijak menyimpan butir² emas kebajikan mereka dalam diam.
Lebih mudah mengetahui kapan anda harus berbicara dan mengumbar perkataan.
Namun, teramat sulit menjaga kapan sebuah jeda harus didiamkan.
Ingatlah, bibir bukan hanya untuk dibuka lebar².
Lebih sering kita perlu untuk mengatupkannya rapat².
Berbicara seringkali bagaikan menghamburkan paku pada jalan yang akan dilalui. Kita tak tahu pada paku yang manakah kita akan jatuh tersungkur.
Berbicara memerlukan sebuah pengendalian diri agar kata² berbicara sebagaimana mestinya.
Sedangkan diam adalah pengendalian itu sendiri yang harus diketukkan untuk menjaga sebuah harmoni.
Itulah mengapa orang bijak menyimpan butir² emas kebajikan mereka dalam diam.
Subscribe to:
Posts (Atom)