Sunday, February 13, 2011

Secercah Harapan yang Hampir Pudar

“Udahlah gak usah sekolah tinggi-tinggi, mending kerja aja.. dapet uang,,”
“Ngapain jual rumah, jual sawah buat sekolah? Mending sawah dikelola buat makan dan hidup,, mending suruh kerja aja!”
“Mau sekolah tinggi-tinggi, klo dari kecil memang petani, ya bakalan balik lagi jd petani”
“Bapak gak bisa sekolahin kamu tinggi-tinggi,, soalnya gak kuat biayanya,, klo memang kamu pengen sekolah tinggi,, ya cuma sawah dan rumah itu yang ada, klo memang terpaksa dijulal gak apa-apa buat sekolah”

Masalah finansial memang jadi kendala utama bagi seorang Arya, remaja desa terpencil untuk menggapai mimpi-mimpinya yaitu menjadi orang sukses, meriah karir yang gemilang, mengangkat derajat keluarga dan membangun desanya. Mimpi-mimpi yang ia rajut sejak dulu rasanya hampir hilang bak ditelan alam seketika setelah tidak ada dukungan dari orang-orang sekelilingnya.

Setelah lulus SD, Arya melanjutkan ke SMP. Namun, ketika mencapai puncak kelulusan SMP. Dia bingung akan kemana melangkahkan kaki, memilih jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Arya termasuk bintang di sekolahnya, walaupun ia lahir ditengah keluarga yang serba sederhana. Ibunya sakit ketika ia masih bayi sehingga terpaksa melepaskan mata pencahariannya, nyaris hanya ayahnyalah yang selama belasan tahun mengasuh dan membesarkannya.

Arya sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Mereka tidak seperti kawan-kawannya yang bisa melenggang, memilih sekolah yang mereka inginkan dengan hanya bilang ke orang tuanya. Setiap ditanya “Arya, kamu maw ngelanjutin kemana?”. Arya bingung maw jawab apa. Dia hanya bisa menjawab “ Do’akan saja ya, ak belum taw mau kemana nantinya” . dalam hatinya selalu berdoa, “ Ya Robb, berikan jalan dan kuasaMU, aku tahu engkau maha adil, engkau jadikan aku seperti sekarang karena engkau mempunyai rencana yang indah untuk aku dan keluargaku”.

Friday, February 11, 2011

PENTINGNYA PERAN GURU : SEBUAH TINJAUAN PSIKOLOGIS


Sebuah kisah nyata yang terjadi di dunia pendidikan sekitar kita, dimana kisah ini terjadi di lingkungan pendidikan dasar. Betapa pentingnya peran guru dalam mendidik anak didiknya, bukan hanya transfer knowledge, tapi lebih dari itu. Memang benar, peran dan tanggung jawab guru memang beban moral. Memang sangat benar, sehingga banyak guru-guru yang belum siap mental mengundurkan diri dari aktivivtasnya karena beban moral yang ditanggungnya sangat berat menurut pemikirannya. Namun, banyak pula yang bertahan dengan berbagai alasan dan meningkatnya kebutuhan hidup. Dalam hal ini, ada sebuah cerita nyata yang menarik dan syarat akan hikmah dan amanah yang dapat dipetik.

Di sebuah kelas 5 SD, ada seorang guru bernama Miss Thomson. Selayaknya guru SD pada umumnya, seorang guru memegang kendali penuh dengan kelas yang diampunya. Di depan murid-muridnya Miss Thompson berkata bahwa ia akan mencintai mereka semua (anak didiknya) tanpa membeda-bedakan. Namun, hal tersebut mustahil. Tepat di bangku paling depan, dengan posisi duduk yang melorot seorang murid bernama Teddy. Sepengatahuan Miss Thompson, Tedy adalah anak yang pendiam, suka menyendiri dan tidak mau bermain dengan teman-teman sekelasnya, pakaiannya lusuh dan kotor dan bisa jadi menurut Miss Thompson, Teddy adalah anak yang tidak menyenangkan. Dalam kesehariannya Miss Thompson terpaksa harus menandai kertas ulangan dan latihan si Teddy dengan tinta merah teball dengan tanda F yang berarti (FAIL/GAGAL).

Disekolah tersebut, kepala sekolah menghimbau kepada semua guru untuk melihat ulang catatan dari semua murid-muridnya.  Hingga pada suatu ketika, Miss Thompson melihat ulang catatan Teddy mulai dari kelas satu dan betapa terkejutnya Miss Thompson ketika membaca ulang catatan tentang si Teddy dikelas sebelumnya :

Guru Kelas 1 memberikan cacatan bahwa Teddy adalah murid yang cemerlang, siap tertawa dan gembira. Dia mengerjakan semua tugas-tugasnya denga rapi, sopan dan penuh dengan semangat kegembiraan.

Pentingnya Penanaman Spiritual Intellegence (SQ) pada Anak: Sebuah Tinjauan Psikologi Islam


Globalisasi menuntut adanya perubahan yang besar dalam segala aspek kehidupan baik positif maupun negatif. Perubahan negative yang terjadi akibat globalisasi perlu diantisipasi melalui intervensi dalam pola pengasuhan sejak dini agar anak tidak mengalami dehumanisasi. Menurut Fromm (1995) dehumanisasi merupakan suatu proses dimana mulai ditinggalkannya nilai-nilai kemanusiaan (etika, moral dan agama) dan digantikannya dengan mendewa-dewakan aspek material semata. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian serius dari orang tua maupun kalangan pendidik untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mendasar si anak. 

Clinebell (dalam Hawari, 1996) menegaskan bahwa anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhi agar bisa membawa anak dalam keadaan yang tentram, aman, damai dalam menjalani hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, maka bisa menyebabkan kecemasan neurotis dan kekosongan spiritual dalam diri anak. Kekosongan spiritual (spiritual-emptiness) akan menyebabkan penyakit ketidakbermaknaan spiritual (spiritual-meaningless) dalam diri anak. Dalam kondisi yang demikian, anak akan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya karena si anak tidak punya benteng yang cukup, kehilangan pegangan hidup, kehilangan keimanan dan mudah untuk putus asa (hopeless).

 Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Lindenthal (dalam Hawari, 1996) yang menemukan hasil bahwa individu yang religius kurang menderita distress jika dibandingkan dengan mereka yang tidak religius. Hawari (1996) juga menegaskan kembali bahwa remaja yang mempunyai tingkat religius yang tinggi memiliki resiko yang rendah untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Dari hasil penelitian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual sangatlah penting dalam membentengi anak menghadapi perubahan social yang semakin deras. Dengan adanya kecerdasan spiritual ini menyebabkan anak menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan dan hambatan sehingga tidak mudah mengalami stress/ kecemasan serta kekosongan spiritual.

Apa sebenarnya Kecerdasan Spiritual (SQ) itu? Mujib & Mudzakir (2002) menjelaskan bahwa kecerdasan  spiritual adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk lebih berbuat secara manusiawi sehingga bisa  menjangkau nilai-nilai luhur yang belum tersentuh oleh akal pikiran manusia. Sedangkan Zohar & Marshall (2001) memaparkan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan spiritual akan mudah terjangkit krisis spiritual (spitual crisis), keterasingan spiritual (spitual alienation) dan patologi spiritual (spiritual patology). Hal ini akan meningkat seiring perkembangan dan perubahan peradaban karena kemajuan teknologi di abad globalisasi seperti sekarang ini. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bagi orang tua yang menjadi titik awal membentuk  pribadi dan karakter anak karena anak pada dasarnya adalah kertas kosong. Jadi hasil gambarnya akan seperti apa, itu adalah karya dari kedua orang tua /keluarga yang membesarkannya. Jangan sampai anak dibiarkan mencari kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan spiritualitas di luar, karena kondisi di luar rumah sangatlah beranekaragam karena sekarang ini budaya konsumerisme, hedonisme dan sekulerisme sudah mulai menggila, lebih-lebih dikota besar seperti Jakarta. Oleh karena itu, perlu adanya penerapan pola asuh yang tepat guna membentengi anak dan membentuk anak menjadi pribadi yang tangguh, tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan hidup.

Orang tua merupakan role model bagi anak di dalam lingkungan keluarga yang pertama mereka kenal. Jika orang tua jauh dari nilai-nilai spiritualitas, maka anakpun juga akan mengikuti jejak ayah bundanya. Seperti kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak yang cerdas spiritual sebagian besar dilahirkan dari orang tua yang cerdas secara spiritual, begitu juga sebaliknya.

Kenapa perlu mengembang kesadaran spiritual pada anak? Anak merupakan periode kehidupan yang sangat penting. Dalam hal ini, Freud menyakini bahwa usia keemasan anak pada rentang waktu 1 sampai 5 tahun. Dimana otak berkembang pesat karena stimulasi dari lingkungan. Jika kita mulai sejak dini, stimulasi baik itu yang mengasah kognitif, afektif dan psikomotorik, maka anak akan tumbuh menjadi buah hati yang saling terintegrasi diantara ketiga komponen itu. Namun, yang perlu di pahami adalah bagaimana stimulasi yang tepat sesuai dengan perkembangan si anak.

Kesadaran spiritualitas yang ditekankan oleh orang tua akan membentuk pemahaman akan spiritualitas sang anak dan tidak terjadi kekosongan spiritualitas dalam hati dan hidup. Dengan pemahaman, tentunya anak akan memaknai dan mengahayati akan pentingnya sebuah nilai spiritualitas sehingga hidupnya akan merasa lebih bermakna. Begitu itu semua dilakukan, insya Allah akan membentuk kecerdasan spiritual bagi si anak.