Thursday, January 7, 2010

ANALISIS PELUANG DAN PENGHAMBAT KESEMPATAN KERJA BAGI PENYANDANG CACAT

Pendahuluan
Salah satu masalah social yang patut kita berikan perhatian penuh adalah masalah kesejahteraan penyandang cacat. Sampai saat ini, penyandang cacat menjadi kaum yang tidak begitu diakui layaknya orang yang normal. Padahal ini sepatutnya bisa dihindari. Dalam UUD 1945, penyandang cacat merupakan warga Negara yang punya hak yang sama seperti halnya warga Negara yang lain. Diakui memang, saat ini belum ada semacam payung yang dapat dijadikan perlindungan oleh kaum yang mempunyai keterbatasan ini. Lemahnya Undang-Undang yang ada menyebabkan para penyandang cacat untuk mendapatkan haknya mengalami kesulitan. Dalam UU Negara RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan dengan jelas bahwa penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Mereka mempunyai aspek kesamaan kesempatan yang diwujudkan dalam kemudahan (aksesibilitas), memperoleh rehabilitasi,bantuan social dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social. Namun, dilain pihak banyak penyandang cacat yang belum tahu dan kurang menyadari akan hak mereka sehingga mereka tidak mampu melaksanakan aktivitasnya sebagai orang normal lainnya sehingga yang kita lihat adalah banyak dari mereka hanya diam dan tidak menuntut akan haknya.

Istilah penyandang cacat itu sendiri adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan / atau mental, yang dapat menganggu dan merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang meliputi cacat fisik, mental, fisik dan mental (UU No 4 Tahun 1997). Selama ini stigma masyarakat dan diskriminasi terhadap penyandang cacat sangat begitu jelas, lebih-lebih dalam hal pekerjaan. Penyandang cacat sering dianggap tidak bisa melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan standart orang normal, maka tidak heran jika banyak perusahan yang masih sanksi dengan kemampuan dan hasil kerja para penyandang cacat.

Goofman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (1990:47) mengungkapkan bahwa masalah social utama yang dihadapi penyandang cacat adalah bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasanya sehingga orang lain tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada mereka bahwa mereka dipandang tida mampu dalam segala hal. Ini merupakan penyebab berbagai masalah yang perlu diselesaikan.

Dari hal tersebut di atas, kita bisa simpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi penyandang cacat tidak sebatas pada penyandang cacat itu sendiri melainkan terkait dengan keluarga dan masyarakat. Adam dan Soifer dalam Browne (1982 :49) mengemukakan adanya kebutuhan dari penyandang cacat dan keluarganya. Penyandang cacat membutuhkan dukungan emosional, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan perilaku.

Panyandang cacat hanya membutuhkan label dan kepercayaan bahwa dia mampu untuk menjalankan peran sebagaimana orang normal lainnya. Kita semua tahu bahwa 3 Desember telah ditetapkan oleh PBB sebagai hari Internasional penyandang Cacat (HIPENCA). Oleh karena itu para penyandang cacat perlumenyadari akan haknya agar tidak lagi hidup dari belas kasihan dan bantuan pihak lain yang membuat penyandang cacat mudah dikendalikan orang laon, tetapi mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya sendiri.

Perumusan Masalah
Dalam artikel ini, penulis berusaha menjelaskan dan memaparkan apa saja yang menjadi peluang dan hambatan para penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan? Apa saja masalah yang melatar belakangi hal tersebut? Bagaimana solusi yang tepat sebagai alternative penyelesaian masalah ini?

Pembahasan

Masalah pekerjaan bagi penyandang cacat merupakan salah satu aspek yang sangat memprihatinkan. Dimana-mana seolah terjadi diskriminasi terhadap aksesibilitas penyandang cacat untuk memperoleh haknya. Selama ini stigma dan diskriminasi baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat dapat kita lihat dalam pelatihan professional yang diberikan kepada penyandang cacat. Biasanya tuna netra hanya diberikan keterampilan memijat. Sedangkan tuna rungu diberi keterampilan seperti menjahit, melukis, dan mekanis, sementara tuna grahita diberi keterampilan olahraga. Padahal jika diberi kesempatan para penyandang cacat juga dapat berkiprah di bidang lainnya. Misalnya, para penyandang cacat jika dilatih manajemen, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk menjadi pengelola usaha yang besar nantinya.

Kita patut untuk sedikit lega karena dalam pasal 14 UU no 4 Tahun 1997 menegsakan bahwa perusahaan negara seperti BUMN dan BUMD maupun perusahaan swasta harus mempekerjakan sekuarang kurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang karyawan tanpa diskriminasi dalam pengupahan dan jabatan yang sama. Dalam pasal 28 dalam UU yang sama, menegaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setingi-tingginya 200 juta. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi penyelenggara jasa lapangan kerja untuk mempersulit penerimaan tenaga kerja penyandang cacat. Ini merupakan peluang bagi penyandang cacat untuk memperoleh haknya.

Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan dan dapatkan di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong dan Panti Sosial Bina Laras “ Phala Martha ” Sukabumi menunjukkan bahwa para penyandang cacat dilatih keahlian dalam bidang menjahit, elektronik, computer, pengolahan logam, menyanyi, keterampilan tangan seperti membuat keset, hiasan dinding, dan lain-lain. Dari sini sebenarnya kita tahu bahwa ternyata mereka jika dilatih akan bisa mengembangkan kemampuan dirinya, hanya saja mungkin keterbatasan bidang yang diajarkan kepada mereka.

Sebenarnya upaya mempersiapkan penyandang cacat menjadi tenaga kerja terampil dan produktif dan bermental wiraswasta telah banyak dilakukan oelh pemerintah melalui Departemen Sosial dalam upaya mewujudkan kesejahteraan kepada kaum people with disability ini, sebut saja melalui Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong dan Panti Sosial Bina Laras “ Phala Martha ” Sukabumi ini, paling tidak masih ada upaya bagaiamana menjadikan kaum ini untuk lebih bisa lebih maju. Melalui proses rehabilitasi social dan pelatihan keterampilan, mereka dipersiapkan untuk menjadi tenaga terdidik baik untuk magang kerja maupun berwiraswasta. Permasalahan yang terjadi adalah ketika pasca rehabilitasi dan pelatihan keterampilan, apakah mereka masih bisa diterima di dunia kerja atau tidak dengan kondisinya. Stigma dan diskriminasi seakan-akan masih melekat di masyarakat. Padahal sejatinya, masyarakat dan penyedia lapangan kerja harusnya lebih bijak dalam menyikapi permasalahan penyandang cacat ini. Pengalaman yang telah ditorehkan penyandang cacat yang telah bekerja di beberapa perusahaan ternama dan prestasinya harusnya bisa menjadikan kita terbuka bahwa sebenarnya people with disability ini juga punya potensi sebagaimana orang normal lainnya.

Dilain sisi, banyak aksesibiltas yang terkesan menyulitkan para penyandang cacat untuk memperoleh haknya. Pertama di lingkungan keluarga, ada keluarga yang memberikan kemudahan anggota keluarganya yang mengalami kekurangan itu untuk mengembangkan diri, bersosialisasi, membri motivasi dan sebagainya. Namun, dilain hal juga ada beberapa keluarga yang tidak memberikan kemudahan-kemudahan tersebut. Di masyarakat umumnya masih ada anggapan bahwa penyandang cacat tidak memiliki kemampuan kerja, masih menganggap rendah dan kurang menerima keberadaan para penyandang cacat dengan cara dikucilkan, dianggap lemah dan perlu dikasihani. Stigma dan stereotype inilah yang masih melekat di masyarakat tentang penyandang cacat tersebut.

Sementara kemudahan yang diberikan pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana umum belum maksimal. Hal tersebut bisa kita lihat dari anggaran yang pemerintah yang terkesan stag dan tidak naik setiap tahunnya. Sementara disisi lain jumlah penyandang cacat tercatat pada tahun 2008 adalah sebanyak 299.203 jiwa ( hasil pendataan penyandang masalah kesejahteraan social (PMKS) penyandang cacat berdasarkan klasifikasi ICF tahun 2008 ). Dalam hal ini, tentunya upaya untuk melaksanakan rehabilitasi menjadi tidak maksimal hasilnya. Harusnya anggaran yang ada berusaha mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang semakin berkembang pesat seiring perkembangan zaman.

Kesimpulan dan Saran

Dari pemaparan penulis di depan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mempunyai potensi dan kemampuan seperti halnya manusia normal lainnya. Seharusnya tidak ada diskriminasi dan stigma negative yang melekat pada mereka. Peluang kerja yang ada sekarang masih terbatas pada peraturan yang termaktub dalam UU No 4 Tahun 1997, tetapi realisasi dilapangan seakan-akan tidak ada.

Faktor penghambat kesempatan kerja bagi people with disability ini bisa dilihat dari dua factor, yaitu internal dan eksternal. Factor internal yang paling utama adalah keterbatasan kemampuan dan kesiapan kerja mereka terhadap tantangan dunia kerja. Faktor eksternal diantaranya minimnya aksesbilitas yang diperoleh baik dari orang tua, masyarakat serta penyedia lapangan kerja (lahan pekerjaan yang sempit) dan pusat rehabilitasi yang ada masih terkesan membatasi ruang gerak penyandang cacat ini. Stereotip negative terhadap kemampuan kerja penyandang cacat netra belum baik dalam artian masih diragukan. Selain factor tersebut, factor rendahnya kesempatan yang diberikan seperti kesempatan pendidikan, kesempatan untuk beraktualisasi atau mengambangkan potensi diri juga menjadi salah satu pengehambat kesempatan bagi mereka dalam memperoleh kesempatan kerja.

Saran yang dapat penulis sampaikan disini adalah hendaknya sosialisai program tentang siapa penyandang cacat lebih digencarkan ke semua aspek dan level kehidupan. Hal ini untuk mengatasi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap mereka. Harus ada pemahaman yang positif bahwa penyandang cacat juga sama seperti manuasia normal lainnya tanpa ada pembedaan dalam hal apapun.

Kedua, harus ada upaya perlindungan hukum terhadap mereka dalam mengusahakan hak nya. Bukan hanya sebatas peraturan yang sifatnya formalitas, namun dalam pelaksanaanya harus ditegakkan mengingat realisasi dari UU no 4 Tahun 1997 dan PP No. 33/1998 masih jauh dari harapan. Untuk itu perlu adanya advokasi dan sosialisasi semua kalangan agar konseskuen melaksanakan ketentuan UU tersebut. Selain itu, perlu adanya rencana dan program penyuluhan serta kegiatan pendampingan bagi penyandang cacat agar mereka tumbuh kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan dan penghidupannya.

Daftar Pustaka

Anonim, Masalah Sosial di Indonesia: Kondisi dan Solusi (Jakarta : Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2004).

Anomin, Peraturan Perundang-Undangan, Aksesibilitas Penyandang Cacat ( Jakarta : Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2005).

Anonim, Expose Data PMKS Penyandang Cacat ( Jakarta : Departemen Sosial RI & Surveyor Indonesia, 2008).

Darmadi, Pemberdayaan Penyandang Cacat (dalam Majalah Gemari Edisi 105/Tahun Gemari X/Oktober 2009).

http://www.idlo.int/bandaacehawarness.htm