Tuesday, September 23, 2008

KENAKALAN REMAJA

Mendengar sebutan remaja, maka terbesit sejumlah perilaku remaja yang bernada negatif. Tawuran pelajar, penggunaan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, atau kecenderungan mencari kenikmatan tanpa mau berusaha adalah hal negatif yang sering kita dengar sekarang ini. Fenomena kenakalan remaja memang menarik untuk dibecarakan. Sisi yang menarik bukanlah karena pemberitaan tentang perilaku remaja yang ganjil itu bisa mendongkrak media massa atau acara televisi, tetapi yang lebih penting adalah karena tindakan kenakalan remaja dianggap menyimpang dan mengganggu ketertiban masyarakat.
“Maraknya tawuran antar remaja selama bulan puasa hingga menelan korban puluhan jiwa merupakan cermin semakin minimnya sosok panutan yang bisa menjadi teladan masyarakat khususnya generasi muda di tanah air” (suara merdeka,18 september 2008). Berita tersebut merupakan contoh dari sebagian kecil kenakalan yang dilakukan remaja sekarang.
Tidak kalah dengan di media massa, acara berita kriminal di stasiun televisi banyak dipenuhi berita perkelahian, tawuran antar pelajar, atau perkelahian antar geng beberapa waktu yang lalu,kita semua dihebohkan dengan adanya aksi geng Nero yang begitu brutal melakukan kekerasan kepada sesama remaja. Ironisnya, pelaku dari geng tersebut adalah remaja putri.
Sungguh sangat memprihatinkan jika hal tersebut terus terjadi. Hal seperti diatas adalah sedikit gambaran tentang kondisi remaja sekarang.Padahal kita tahu, bahwa remaja adalah cikal bakal penerus bangsa. Jika remaja di negara kita melakukan tindakan seperti itu, tentunya bangsa ini akan segera runtuh. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa remaja bisa terlibat dalam kenakalan remaja? Apa yang melatarbelakangi hal itu semua? Sebelum menjawab hal tersebut, kita sebaiknya mengetahui tentang dunia remaja.
Remaja yang dalam bahasa aslinya “adolescence” berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “ tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut Piaget (Hurlock,1991) yang dikutip oleh Mohammad Ali dalam bukunya Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Remaja sebenarnya tidak memiliki tempat jelas. Mereka bukan lagi termasuk golongan anak-anak, tetapi juga belum juga diterima secara penuh untuk masuk kedalam golongan orang dewasa. Seringkali kita kenal bahwa masa remaja adalah masa “mencari jati diri” atau masa ”topan dan badai”, mereka belum mampu mengusai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar, hali itu mendorong remaja untuk berpetualang, menjelajah sesuatu, mencoba sesuatu yang belum dialaminya. Mereka sering mengkhayal, dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap. Untuk itu mereka memerlukan keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa. Jika keinginan tersebut mendapatkan bimbingan dan penyaluran yang baik, maka akan menghasilkan kreatifitas yang bermanfaat. Jika tidak, dikhawatirkan dapat menjurus kepada hal negatif (kenakalan remaja).Seringkali mereka melakukan perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan yang dilakukan oleh orang dewasa/orang tua di masyarakat. Apa yang dikatakan orang dewasa ternyata tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Hal seperti diatas merupakan pemicu mengapa remaja melakukan hal-hal sesuai dengan normanya sendiri, bahkan mereka tidak memperdulikan norma-norma yang berlaku di masyarakat bahkan agama.
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kenakalan remaja merupakan salah satu bentuk penyimpangan yang dilakukan remaja karena tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, dan norma sosial yang berlaku.
Bentuk-bentuk kenakalan remaja antara lain : bolos sekolah, merokok, berkelahi / tawuran, menonton film porno, minum minuman keras, seks diluar nikah,menyalahgunakan narkotika, mencuri, memperkosa, berjudi, membunuh,kebut-kebutan dan banyak lagi yang lain.
Dari beberapa referensi yang saya baca bahwa hal yang menjadi pemicu dan mempengaruhi timbulnya kenakalan remaja antara lain :


 Pengaruh teman sebaya
Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Remaja lebih banyak bergaul dan menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Jika remaja mempunyai masalah pribadi atau masalah dengan orang tuanya, maka ia akan lebih sering membicarakan dengan teman-temannya karena mereka merasa lebih nyaman berbagi dengan teman dibanding dengan keluarga. Teman sebaya merupakan faktor penting dalam mengatasi perubahan dan permasalahan yang mereka hadapi. Pengaruh teman sangatlah besar dalam pembentukan watak dan kepribadian remaja, karena remaja akan cenderung bersikap sesuai dengan teman sebayanya atau kelompoknya.
 Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Pola pengasuhan anak juga berpengaruh besar, anak yang nakal kebanyakan berasal dari keluarga yang menganut pola menolak karena mereka selalu curiga terhadap orang lain dan menentang kekuasaan.(Dwi Narwoko,2007:p.94)
 Media Massa
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu singkat, informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan, pendapat, berita, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dengan mudah diterima. Oleh karena itu media massa seperti surat kabar, TV, film, majalah mempunyai peranan penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan norma-norma baru terhadap remaja. Mereka akan cenderung mencoba dan meniru apa yang dilihat dan ditontonnya. Tayangan adegan kekerasan dan adegan yang menjurus ke pornografi, ditengarai sebagai penyulut perilaku agresif remaja, dan menyebabkan terjadinya pergeseran moral pergaulan, serta meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran norma susila. (Dwi Narwoko,2007:p.96)
Untuk membentengi diri dari pengaruh diatas agar kita tidak ikut andil dalam kenakalan remaja maka hendaknya kita melakukan upaya pencegahan. Dari kita sendiri, kita harus meningkatkan dan membangun kehidupan iman sesuai dengan agama dan keyakinan yang kita anut, artinya kita harus sungguh-sungguh menjalankan ajaran-ajaran dan perintah agama dengan baik. Dari segi orang tua harus membimbing, membina, dan mengarahkan kehidupan keagamaan anaknya sejak dini.
Untuk menumbuhkan moral remaja menurut Blatt dan Kohlberg yang dikutip oleh Muhammad al-Mighwar dalam jurnal psikologi remaja mengajukan konsep konflik-kognitif: Caranya para remaja di bentuk menjadi berbagai kelompok yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Mereka diberi tema-tema dilema moral yang bisa menciptakan konflik kognitif kemudian di aktifkan untuk berdiskusi secara tebuka. Seorang guru mendukung kelompok tertentu kemudian mendukung argumentasi kelompok lain secara bergiliran hingga terjadi konflik. Dengan begitu para remaja diuji untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dan konsistensi moralnya.
Dari paparan di atas penulis menyimpulkan bahwa kenakalan remaja merupakan problemetika yang pelu diperhatikan dan ditanggulangi dengan serius, karena remaja adalah generasi penerus bangsa. Masa depan bangsa ini berada di tangan mereka semua. Sejak dini mereka perlu diberikan pondasi iman yang kuat, serta dibesarkan di lingkungan yang baik.

Referensi :
Ghozally, Fitri.2007. Memahami perkembangan Psikologi Remaja.Jakarta:Pustaka Nasiona.
Sri Sumantri dan Siti Sundari.2004. Perkembangan Anak dan Remaja.Jakarta: Rineka Cipta
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto.2007.Sosiologi Teks dan Terapan.Jakarta:Kencana Prenada media Group.
Muhammad Ali dan Muhammad Asrori.2004. Psikologi Remaja Peserta Didik.Jakarta:Bumi Aksara.
Muhammad Al-Mighwar.2006. Psikologi remaja.Bandung:Pustaka setia

Monday, September 15, 2008

KEDUDUKAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA DILIHAT DARI ASPEK PSIKOLOGI

Sejak pertama kali lahir, manusia telah dikenalkan dengan ajaran agama. Mereka mulai dikenalkan dengan ajaran-ajaran agama yang mendasar sebagai awal perkenalan dan membuka wawasan tentang agama. Di dalam agama Islam, setiap bayi yang lahir akan dilakukan ritual adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Hal itu dilakukan dengan maksud agar kata yang pertama kali didengar adalah kata pujian untuk Allah SWT. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian nama yang baik, karena nama merupakan do’a untuk orang yang dinamai. Mereka diberi makanan yang bersih dan suci, dilakukan pencukuran rambut dengan tujuan agar mereka menyukai kebersihan, keindahan, ketampanan yang kesemuanya itu disukai Allah SWT. Dalam ajaran agama Islam telah dijelaskan hal itu semua mulai dari bayi sampai ajal tiba.

Kehidupan manusia sangatlah kompleks sehingga tidak bisa lepas dengan agama. Agama berkedudukan sebagai benteng kesehatan mental dan bersikap serta berperilaku menghapai setiap pelik masalah yang menimpa. Agama merupakan makanan untuk memenuhi kehausan jiwa, karena antara jiwa dan agama memiliki korelasi yang kuat. Jika kebutuhan jiwa terpenuhi maka akan tercipta sebuah perasaan yang tenteram dan damai. Agama berperan dalam mewujudkan kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan agar lebih bermakna dalam arti yang luas.

Ditinjau dari sisi psikologis, bahwa tingkah laku yang dimunculkan manusia bersumber dari gejala kejiwaan yang mereka alami. Perilaku manusia yang dimunculkan dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ketika seorang berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua dan guru, menutup aurat merupakan gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui jiwa agama.

Dengan ilmu jiwa, seseorang akan mengetahui seberapa besar tingkat keagamaan yang mereka hayati, pahami, dan mereka amalkan. Kita semua sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, selalu berpikir, merasa, serta mempunyai kehendak. Perilaku yang dilakukan merupakan buah dari apa yang dipikir, dirasa, dan yang dikehendakinya. Manusia juga bisa menjadi subjek dan objek sekaligus, disamping dia bisa menghayati pengalaman agamanya sendiri,meraka juga dapat meneliti keberagamaan orang lain. Secara psikolgis agama mempunyai makna yang berbeda-beda / subjektif, intern dan individual tergantung kepada seberapa besar amalan dan penghayatannya terhadap agama. Bagi beberapa orang agama adalah ritual ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, bagi sebagian yang lain agama adalah pengabdian diri kepada sesama manusia dan makhluk hidup yang lain sehingga mereka akan berperilaku baik. Bagi penulis sendiri agama merupakan ajaran yang kompleks yang di dalamya berisi aturan-aturan yang mengarahkan, membimbing, menuntun manusia agar bahagia di dunia dan akhirat. Tidak hanya itu saja, agama juga memberikan uraian tentang alam dan segala isinya.

Jadi pengertian agama sangatlah kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia. Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Aliran Psikolanalisa keberagamaan merupakan bentuk gangguan kejiwaan, bagi Aliran Behaviorisme, perilaku keberagamaan tidak lebih dari sekedar perilaku karena manusia tidak memilki jiwa. Aliran kognitif mulai menghargai kemanusiaan, dan Aliran Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup, sehingga aliran ini lebih dekat dengan agama.

Lalu, apa sebenarnya arti dari agama? Menurut Drs. H. Achmad Gholib, MA dalam bukunya “Studi Islam” menjelaskan bahwa definisi agama adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan Tuhan itu dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Menurut Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan bahwa agama merupakan aturan yang bersumber langsung dari Tuhan, yang diperuntukkan untuk manusia karena manusia dikaruniai oleh akal yang dapat menerima peraturan-peraturan Tuhan yang akan membawanya kepada kebaikan, keselamatan dan kehagiaan di dunia dan akhirat.

Dari pendapat beberapa tokoh di atas dapat diasumsikan bahwa agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus di pegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia sehari-hari dan berasal dari sumber yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera.

Menurut Harun Nasution, agama mempunyai empat unsur penting :

1. Kekuatan gaib manusia : manusia merasa bahwa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai temapat meminta tolong dan berlindung. Oleh sebab itulah manusia mengadakan hubungan baik dengan kekuatan baik tersebut dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan gaib tersebut.

2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung adanya hubungan baik itu.

3. Respons yang bersifat emosional dari manusia, seperti perasaan takut dan cinta.

4. Paham adanya yang kudus dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

Dari pengertian terakhir ini ditegaskan bahwa agama adalah aturan Tuhan, yang ditujukan bagi manusia, karena manusialah yang dianugerahi akal. Akal yang dapat menerima peraturan-peraturan Tuhan yang akan membawa manusia kepada kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Manusia di dunia ini sangat membutuhkan agama sebagai pegangan hidup di dunia dan akhirat. Menurut Abudin Nata dalam bukunya “ Metodologi Studi Islam “ ada tiga alasan perlunya manusia terhadap agama :

1. Latar belakang fitrah manusia

Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan manusia. Allah SWT berfirman dalam surat al-Rum, 30:30).

“ Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu “

2. Kelamahan dan kekurangan manusia

Manusia memiliki keterbatasan akal untuk menentukan hal-hal di luar kekuatan pikiran manusia itu sendiri, dan juga manusia merupakan makhluk lemah yang sangat memerlukan agama.

3. Tantangan manusia

Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan syetan, dan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berusaha memalingkan manusia dari Tuhan.

Agama berfungsi untuk membimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia di dunia dan akhirat, mempererat hubungan sosial dan kemasyarakatan, dan penawar bagi tekanan jiwa.

Manusia memiliki dua jenis kebahagiaan. Pertama, yang berhubungan dengan inderawinya dengan objek eksternal, seperti kebahagiaan yang diperoleh melalui pengecapan lidah dan indera peraba seperti kontak fisik. Kedua, kebahagiaan yang berhubungan dengan kedalaman ruh dan kesadaran manusia, yang tidak ada kaitannya dengan tubuh-tubuh tertentu. Kebahagiaan ini termasuk kebahagiaan menyembah Tuhan / shalat.

Pengaruh kedua dari keyakinan keagamaan dalam masalah hubungan sosial kemasyarakatan adalah untuk memaksa orang untuk melaksanakan kewajiban yang telah disepakati bersama demi terwujudnya ketertiban masyarakat.

Peranan yang ketiga sebagai penawar bagi tekanan jiwa yang gelisah, stress atau gundah gulana. Kehidupan manusia kita sukai atau tidak mengandung penderitaan, kesedihan, kegagalan, kekecewaan, kehilangan, dan kepahitan. Disinilah peran agama mulai dibutuhkan. Dengan adanya pengalaman agama yang kuat maka manusia akan terhindar dari tekanan yang dapat membelunggu kehidupannya. Meraka sadar bahwa semua yang terjadi dalam dunia ini adalah sebagai cobaan untuk menguji keimanan dan mereka yakin bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.

Bagi ahli psikologi bahwa sebagian besar penyakit mental yang disebabkan oleh kerusakan psikolgi dan kepahitan kehidupan ditemukan diantara orang-orang yang tidak beragama. Orang-orang yang beragama, bergantung pada seberapa jauh ketetapan hatinya kepada agamanya, seringkali terlindungi dari penyakit-penyakit seperti itu. Karenanya salah satu akibat kehidupan kontemporer yang bersumber dari ketiadaan keyakinan keagamaan adalah meningkatnya penyakit saraf dan psikologis.(Achmad Gholib, Studi Islam, Faza Media, Jakarta, 2006 )

Referensi :

Nata, Abudin. 1998 . Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Azhari, Akyas. 2004 . Psikologi Umum & Perkembangan. Jakarta:

Gholib, Achmad. 2006 . Studi Islam. Jakarta: Faza Media

PSIKOLOGI PENDIDIKAN


A. Pendahuluan

Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.

Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

B. Mendorong Tindakan Belajar

Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.

Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.

Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.

Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).

1. Faktor Fisiologis

Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.

Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.

Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.

Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.

2. Faktor Psikologis

Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar

jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara

terpisah.

Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.

2.1. Perhatian

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.

Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.

2.2. Pengamatan

Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.

Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.

Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.

2.3. Ingatan

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.

Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.

Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.

Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.

Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.

Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.

Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.

2.4. Berfikir

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.

Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.

2.5. Motif

Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.

Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.

Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

Tuesday, September 9, 2008

ARTI PERSAHABATAN ALAM

Aku berlari ….. dan terus berlari…..
Menuju lautan lepas
Selepas hatinya yang tak terikat,
Terikat norma dan aturan yang tak jelas
Namun tidak terlepas oleh hukum alam yang bersahabat

Seminggu sudah,
Kita tidak bersua, cerita, dan berbagi
Bersua dalam persahabatan;
Bercerita dalam kesedihan;
Dan berbagi dalam keceriaan

Kulihat dari kejauhan……
Lambaian tangan-tangan ombakmu menyapa hadirku
Kuhantarkan tangan gemetar ini membalas lambaian ombakmu
Kulepaskan gaun hati ini
Untuk berbagi dengan dalamnya terumbu hatimu
Dan kuserahkan jiwa ini
Di atas pangkuan hangatnya biru lautmu

Membuatku hanyut dan terapung…..
Terapung Dalam alunan nada-nada ombakmu

Kulihat di atas sana damainya langit biru
Sepertinya dia iri melihat kita bercengkrama
Kulihat di barat sana………
Wajah sunrise yang kemerahan malu mengintip kemesraan kita
Kulihat di atas pasir bibir pantaimu…..
Seorang bidadari kecil tersenyum membayangkan arti persahabatan kita

Bidadari kecil itu melamun dalam keceriaan
Bidadari kecil itu bernyanyi dalam alunan nada nyawa kehidupan
Kuhampiri lamunan nadanya dengan sayap-sayap tarian seudati ku
Bak seekor elang yang menukik mengikuti simfoni angin,
Angin yang bertiup dari barisan bukit-bukit terjal
Menuju lembah sejuk beralaskan permadani padi yang menguning

Terima kasih lautku
Terima kasih bidadari kecilku
Terima kasih atas rajutan persahabatan ini

Hatiku kini telah lepas, selepas lautan Hindiamu
Senyumku kini telah ikhlas
Seikhlas senyum tarian bidadari kecilku di atas birunya langit
Inilah arti persahabatan alam yang sesungguhnya
Persahabatan insan manusia bersama birunya laut;
Damainya langit; lembutnya butiran pasir putih di bibir pantai
Senyuman bidadari kecil dari balik mentari;
Hijaunya bukit; sejuknya udara pegunungan;
Menguningnya padi di lembah kasih;
Hangatnya senyuman sinar mentari;
Wibawanya sinar purnama;
Dan genitnya kelipan bintang di atas sana.